Peti di Anak Sungai Katingan |
Bersinarnya
harga emas, menjadi daya tarik tersendiri bagi sebagian masyarakat Katingan dan
beberapa warga pendatang untuk melakukan penambangan emas 'liar', atau yang
biasa disebut penambangan emas tanpa izin (Peti).
Menurut
salah satu penambang, Arifin (27), di tingkat penambang harga emas (kotor)
dijual Rp 250.000 per gram, harga ini sudah naik dari harga sebelumnya yang
berkisar Rp 175.000-Rp 200.000 per gram. Memang harga tersebut jauh lebih murah
dari harga di pasar umum mencapai lebih dari Rp 500.000 per gram.
"Di
lapangan orang butuh duit, jadi lebih
murah. Ada penadahnya, itu kan rantai distribusinya panjang sampai ke kota
besar," jelasnya.
Jika
ditelusuri dari segi historis, ternyata Peti di Katingan, khususnya di Daerah
aliran sungai (DAS) Katingan, sudah dimulai sejak puluhan tahun silam, bahkan sudah
menjadi salah satu tumpuan ekonomi bagi para penambang itu sendiri.
Sayangnya,
usaha masyarakat yang sudah berlangsung lama ini, tergolong pelanggaran berat,
sesuai dengan Undang-Undang RI No.4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara, para penambang (pelaku Peti) dapat diancaman dengan hukuman kurungan
penjara diatas 5 tahun dan denda kurang lebih Rp.10 milyar.
Sedangkan
dari sudut pandang lingkungan, Peti tergolong kejahatan kemanusiaan yang tidak
boleh mendapat perlakuan khusus dalam bentuk toleransi, karena zat kimia air
raksa (Mercury) yang digunakan pada proses pemisahan pasir emas tanpa
pengawasan tekhnis, sama dengan tindakan pembantaian massal secara
perlahan-lahan.
Berdasarkan
data yang diperoleh dari Badan lingkungan hidup daerah (BLHD) Katingan, akibat
dari penggunaan air raksa yang di buang ke sungai oleh para pelaku Peti, pencemaran
sungai katingan sudah mengalami pencemaran
diatas ambang batas.
“Bukan
hanya mengkonsumsi airnya, makan ikan dari sungai Katingan juga berbahaya,”
ujar Drs Yurbend, Kepala BLHD Katingan.
Berangkat
dari pemahaman gamblang seperti ini, maka Peti tidak ubahnya momok menakutkan
yang harus diwaspadai semua pihak, khususnya pemerintah daerah wajib
menyikapinya dengan serius.
Kapolres
Katingan AKBP Trisulastoto Prasetyo Utomo, malaui Kasat Reskrim AKP Dhovan
Oktavianto, mengklaim telah sering melakukan sosialisasi, merazia dan
menangkap pelakunya, tapi Peti tetap
saja marak.
“Sialnya,
mereka sering main Kucing-kucingan
dengan kami,” ucap Dhovan.
Solusi yang ditawarkan
Kondisi
semacam ini semestinya segera disikapi dengan langkah khusus dan tepat sasaran.
Tidak cukup dengan upaya yang dilakukan aparat dan pemerintah. Berbanding lurus
dengan maraknya Peti, otomatis bertambah banyak pula masyarakat yang terlibat. Bukan
tidak mungkin akan menjadi bom waktu bagi Kabupaten Katingan.
“Hal
ini karena sebagian masyarakat sudah menggantungkan hidupnya pada usaha ini
(Peti), gesekan sosial dan resiko konflik sealu terbuka, meskipun resiko
kerusakan alam pasti terjadi,” ungkap Fandhi Ahmad Chalifah, Menejer Advokasi
dan Kampanye Wahana lingkungan hidup (Walhi) Kalimantan Tengah.
Fandhi
menilai, penetapan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) menjadi salah satu solusi
permasalahan pertambangan ilegal di Katingan. Menurutnya, WPR menjadi evolusi
terakhir sejak solusi.
Perlunya
legalitas bagi pelaku Peti, sehingga pembinaan penambangan, penataan lokasi bekas
tambang, dan jaminan reklamasi dan revegetasi lahan bekas tambang emas liar
dapat dilaksanakan sesuai dengan aturan.
Legalitas
melalui WPR, berarti meniadakan usaha penambangan rakyat dan pertambangan
tradisional yang selama ini menjadi momok paling menakutkan bagi pencemaran lingkungan
dan juga usaha yang dikategorikan melanggar hukum ini tidak lagi bermasalah
menghadapi penegakan hukum, sekaligus mempermudah dalam hal pengawasan oleh
pemangku kebijakan dan aparat yang berwenang.
Kriteria
WPR telah tertuang pada Pasal 26 ayat 2 PP RI Nomor 22 Tahun 2010 tentang
Wilayah Pertambangan.
Upaya
luhur menyelaraskan kebutuhan ekonomi untuk pembangunan dan memperkecil dampak
negatif terhadap lingkungan, perbaikan lingkungan, demi mendukung pembangunan
yang berkelanjutan membutuhkan komitmen semua pemangku kepentingan di Kabupaten
berjuluk Penyang Hinje Simpei ini.
Palangkaraya, 14/10 2012.
Posting Komentar