Sungai Katingan |
Ribuan penduduk di Kabupaten Katingan masih mengandalkan Sungai Katingan untuk kebutuhan airnya sehari-hari. Namun sungai utama di kabupaten berjuluk Penyang Hinje Simpei itu, saat ini diyakini telah tercemar logam berat limbah penambangan emas disekitar sungai.
Padahal selama warga yang tinggal di bantaran Sungai Katingan masih menggunakan air sungai untuk keperluan hidup sehari-hari seperti mandi, mencuci, memasak dan air minum.
Selain itu, warga juga mengkonsumsi ikan dari Sungai Katingan. Kehidupan seperti ini sudah dijalani warga secara turun temurun. Makin tingginya kebutuhan ekonomi membuat warga memanfaatkan potensi emas yang terdapat di Sungai Katingan dan sekitarnya.
Diperkirakan ada sekitar ratusan bahkan ada pula yang menyebut sampai pada angka ribuan warga yang melakukan penambangan emas secara liar. Dari sekian penambang masih menggunakan air raksa atau merkuri sebagai koagulan atau pengumpal, sekaligus pelarut untuk memisahkan emas dari zat lain dalam proses penambangan.
Mereka tidak sadar, merkuri tersebut sangat membahayakan diri dan keluarga mereka sendiri. Berdasarkan hasil uji kadar merkuri pada Sungai Katingan oleh Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Katingan, tahun 2012, kadar merkuri dipermukaan air Sungai Katingan, sudah 0,005 miligram perliter. Bahkan di salah satu anak Sungai Katingan, sudah mencapai 0,008 miligram perliter. Padahal ambang batas kadar merkuri yang aman adalah 0,001 miligram perliter.
Kadar merkuri dalam ikan seperti nila, baung dan beberapa jenis ikan lain yang dikembangbiakkan pada keramba di sepanjang bantaran Sungai Katingan pun sudah melebihi ambang batas yang ditetapkan sebesar 0,4 miligram perkilogram yaitu mencapai 0,676 miligram perkilogram.
Konsentrasi merkuri di tubuh ikan menjadi lebih besar, karena terjadi penumpukan konsentrasi logam secara biologis. Sehingga bila dikonsumsi manusia, kadar merkurinya akan paling tinggi diantara siklus rantai makanan.
Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah sebetulnya sudah mengeluarkan peraturan daerah (Perda) yang mengatur penjualan dan penggunaan air raksa melalui Perda No.6 tahun 2003. Namun kenyataannya, para penambang emas liar masih dapat dengan mudah membeli air raksa dari toko-toko emas di daerah ini. Padahal jika dibiarkan, merkuri yang ada di Sungai Katingan bisa menjadi bencana besar.
Merkuri bisa menimbulkan penyakit Minamata yang hingga kini belum ada obatnya. Penyakit itu akan menyerang syaraf dan otak. Hingga menimbulkan cacat serta meninggal dunia, seperti yang terjadi di kota Minamata di Jepang tahun 50-an.
Padahal selama warga yang tinggal di bantaran Sungai Katingan masih menggunakan air sungai untuk keperluan hidup sehari-hari seperti mandi, mencuci, memasak dan air minum.
Selain itu, warga juga mengkonsumsi ikan dari Sungai Katingan. Kehidupan seperti ini sudah dijalani warga secara turun temurun. Makin tingginya kebutuhan ekonomi membuat warga memanfaatkan potensi emas yang terdapat di Sungai Katingan dan sekitarnya.
Diperkirakan ada sekitar ratusan bahkan ada pula yang menyebut sampai pada angka ribuan warga yang melakukan penambangan emas secara liar. Dari sekian penambang masih menggunakan air raksa atau merkuri sebagai koagulan atau pengumpal, sekaligus pelarut untuk memisahkan emas dari zat lain dalam proses penambangan.
Mereka tidak sadar, merkuri tersebut sangat membahayakan diri dan keluarga mereka sendiri. Berdasarkan hasil uji kadar merkuri pada Sungai Katingan oleh Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Katingan, tahun 2012, kadar merkuri dipermukaan air Sungai Katingan, sudah 0,005 miligram perliter. Bahkan di salah satu anak Sungai Katingan, sudah mencapai 0,008 miligram perliter. Padahal ambang batas kadar merkuri yang aman adalah 0,001 miligram perliter.
Kadar merkuri dalam ikan seperti nila, baung dan beberapa jenis ikan lain yang dikembangbiakkan pada keramba di sepanjang bantaran Sungai Katingan pun sudah melebihi ambang batas yang ditetapkan sebesar 0,4 miligram perkilogram yaitu mencapai 0,676 miligram perkilogram.
Konsentrasi merkuri di tubuh ikan menjadi lebih besar, karena terjadi penumpukan konsentrasi logam secara biologis. Sehingga bila dikonsumsi manusia, kadar merkurinya akan paling tinggi diantara siklus rantai makanan.
Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah sebetulnya sudah mengeluarkan peraturan daerah (Perda) yang mengatur penjualan dan penggunaan air raksa melalui Perda No.6 tahun 2003. Namun kenyataannya, para penambang emas liar masih dapat dengan mudah membeli air raksa dari toko-toko emas di daerah ini. Padahal jika dibiarkan, merkuri yang ada di Sungai Katingan bisa menjadi bencana besar.
Merkuri bisa menimbulkan penyakit Minamata yang hingga kini belum ada obatnya. Penyakit itu akan menyerang syaraf dan otak. Hingga menimbulkan cacat serta meninggal dunia, seperti yang terjadi di kota Minamata di Jepang tahun 50-an.
Posting Komentar