Uses
and Gratification
Orang
boleh berpendapat jika Koran-koran dibawah Jawa Pos seperti Palangka Ekspres,
Pos Metro Medan, Lampu Hijau dan Koran-koran sejenis dikatogorikan sebagai
Koran kuning, namun jika mereka menganggap Koran-koran tersebut mengabaikan
fakta yang ada, itu salah Besar.
---------------------------------------
Dari
diskusi yang yang digelar Palangka Ekspres di Grand Hotel Palangka Raya, juga
membahas tentang struktur penulisan berita dan teknik penjudulan. Untuk
struktur berita, harus di usahakan meyesuaikan konsumen, begitupun teknik
penjudulan.
Sebagai
contoh, untuk masalah penjudulan Koran kuning sering memakai prokem-prokem yang
populer di masyarakat, tak peduli trik ini sering sekali ditangkap sisi
jeleknya, yaitu sebagai koran yang amburadul, tren penulisannya tanpa tedeng
aling-aling. Hal semacam ini memang sengaja, karena Koran kuning harus mampu
melihat pasar yang ada
“Perlu
diingat segmen pasar kami adalah golongan menengah ke bawah, sehingga kami juga
sering menyelipkan bahasa-bahasa lokal,” aku Hartono.
Apa kata
akademisi tentang Koran kuning?
Seusai
mengikuti diskusi yang digagas Koran kuning percontohan di pulau Kalimantan
ini, saya mencoba menghubungi Arif Hidayat, seorang pakar komunikasi yang juga
pengajar di Jurusan Komunikasi UNNES (Universitas Negeri Semrang) untuk dimintai pendapatnya tentang koran
kuning.
Menurutnya,
media kuning hadir sebagai salah satu alternatif bacaan bagi masyarakat di tengah-tengah
bejibunnya media yang homogen, tidak bombastis, dan biasa-biasa saja. Padahal
ada sekelompok golongan yang merasa terabaikan dengan homogennya media-media
seperti itu. Ada golongan yang sulit mencerna tulisan-tulisan di media-media
yang bahasanya akademik.
“Koran
semacam ini adalah Koran segmented
dan sebagai pemenuhan kebutuhan bagi golongan menengah kebawah,” ujarnya per
ponsel.
Ini
bisa terlihat dari struktur bahasa yang sederhana. Narasumber-narasumber yang
tampil di media ini rata-rata adalah golongan menengah ke bawah. Dan Mereka
akan merasa dihargai.
“Kita
akan senang untuk tampil di media. Jadi secara psikologis media ini adalah
media kepunyaan mereka,” tutur Arif.
Dalam
ilmu komunikasi ada terminologi Uses and
Gratification, selalu ada alasan logis seseorang untuk mengonsumsi media.
Para pembaca media kuning merasa senang dan terlayani kebutuhannya sehingga
mereka membeli. Ini akan menjadi pasar yang sangat potensial, karena pada
dasarnya rata-rata orang Indonesia adalah golongan menengah ke bawah.
Pakar
komunikasi yang gemar berdiskusi dengan mahasiswa lintas jurusan ini
mencontohkan sebuah judul yang ada di sebuah Koran kuning, “Sempat 'ngemut', bersetubuh di ruang tamu”. Mungkin
kaum yang berpendidikan tinggi bingung membaca judul ini, tapi bagi tukang
becak, preman pasar dan tukang parkir judul ini sangat meaningful bagi mereka.
“Pemaknaan
pengguna kereta ekonomi dengan orang yang duduk di kursi eksekutif itu
berbeda,” tukasnya.
Masalahnya
kita terkejut dengan model pemberitaan tersebut. Kita menganggap hal itu
memberi pengaruh buruk bagi masyarakat. Tetapi di sisi lain, segmen yang
dibidik koran kuning itu tadi sudah biasa dengan hal-hal yang seperti itu.
“Kita
harus paham dengan logika segmen, kita tidak perlu khawatir dengan masalah isi.
Ini media untuk kita, ini media untuk mereka,” jelasnya.
Menurutnya,
fungsi media kuning sebenarnya penting. Di dalam “koran putih” seperti Kompas
dan lain-lain, berita kriminal amat sedikit dimuat dan pembahasan bisa dibilang
tidak terlalu mendalam. Dengan membaca koran kuning, masyarakat jadi lebih
waspada akan berbagai bentuk tindak kejahatan.
“Koran
kuning juga alat yang bagus sebagai media referentif bagi golongan menengah ke
bawah. Referensi-referensi dari media kuning ini yang membuat mereka sering
berdiskusi dan bertambah akrab,” jelasnya lagi.
Saat
ditanya, benarkah media kuning berperan meningkatkan terjadinya tindak kejahatan
sekarang ini, ia menjawab tidak benar. “Kita sering mengkambinghitamkan media
atas kasus ini padahal sebenarnya salah. Seseorang memerkosa bukan karena dia
membaca koran kuning, tetapi karena dia tidak punya uang untuk memuaskan
libidonya ke pelacur. Itu saja!” katanya.
Perlu
digaris bawahi, imbuh Arif, Media itu fungsinya hanya memberitakan hal-hal yang
bersifat fakta saja, tinggal kita mau mengakui atau tidak melihat fakta yang
seperti itu. Yang menjadi masalah mungkin frame dan penyajiannya.
+ komentar + 1 komentar
Nice news, Makasih kang..
Posting Komentar