Mempelajari
budaya bangsa melalui fenomena “kebahasaan”
Patung Gajah di kebun binatang Ragunan-Jakarta Selatan/Ist |
Mengkaji
jurnal sebelumnya (Baca; Politik Dagang Sapi), saya malah makin tergelitik
untuk kembali mengulasnya. Bukan karena makna yang tersirat dalam jurnal tersebut,
melaikan karena istilah yang tak sengaja tersematkan “Sapi”.
Pertanyaan
saat ini, kenapa kata “Sapi” yang dipilih? Barangkali, kata tersebut tak
bermaksud meyidir siapa dan kelompok mana, namun saya berkeyakinan jika
pemilihan kata dalam sebuah istilah yang lahir tentunya memiliki kandungan
makna.
Dalam
beberapa mata kuliah keilmuan dan ketrampilan berbahasa yang sempat saya timba
di salah satu sekolah para guru Sastra Indonesia di kota Loenpia, ada beberapa mata kuliah yang didalamnya secara khusus
mempelajari tentang struktur dan kaitan budaya dalam bahasa, diantaranya;
Fonologi, Morfologi, Sintaksis dan Sematik.
Dari
sekian pelajaran yang saya peroleh dari tebalnya buku pengantar, buku
pendamping, buku paket, diktat, celoteh sang dosen serta refrensi yang
berhamburan di dunia maya, ternyata dasar ilmunya teramat sangat simpel, bahkan
nenek moyang kita lebih dulu memahaminya dibanding sekian cedikiawan dan
puluhan perofesor di menara gading tersebut.
“Bahasa
menunjukkan sebuah bangsa,” ya, kalimat inilah kunci dari sekian ilmu tersebut,
dan jika kita menjadikan pepatah yang kian usang ini sebagai barometer, tentu
saja dalam sebuah kebudayaan, “petikan-petikan” kalimat berhikmah dapat dengan
mudah dijadikan parameter untuk mendedah sampai sejauh mana tradisi melakukan
transformasi terus-menerus untuk menjawab paradigma baru di ranah kebudayan
tersebut.
Dengan
kata lain, Ketika kita membaca,
mendengar dan merasakan istilah istilah dalam sebuah budaya, sebenarnya kita
diajak untuk “Bercermin” di sana. Dengan demikian, dalam proses “bercermin”
inilah kita bisa menemukan demikian banyak keganjilan dalam prilaku politik “kebahasaan”
kita dalam menyikapi situasi politik dalam ranah “kebangsaan” ini.
Salah
satu contoh yang paling “aneh” dari pola wacana publik dalam melihat “lanskap”
politik mutakhir Indonesia adalah dengan mensinonimkannya dengan binatang.
Mulai dari munculnya istilah “politik adu domba”, selanjutnya “politik kambing
hitam”, “politik dagang sapi”, “kutu loncat” atau yang belakangan popular
“cicak versus buaya” dan “gurita dari cikeas” menjadikan wacana politik kita
demikian riuh oleh berbagai jenis “binatang”.
Terlepas
meyudutkan kelompok manapun, serentetan istilah inilah yang memunculkan
imajinasi dan pertanyaan “nakal” dalam benak saya. Apa yang menjadikan wacana
politik kita mengalami proses “binatangisme” dalam penamaannya? Bagaimana kita
mencari format hubungan antara “binatang” dengan politik kita? Dan siapa paling
bertanggungjawab terhadap label “binatangisme” ini ?
Barangkali,
Dunia binatang yang dalam satra Indonesia sering disebut fabel ini sudah
menjadi tradisi dunia perpolitikan di tanah air beta dan kebetulan memang
menyimpan sejenis makna yang telah lama menyusup jauh ke saluran “bawah sadar”
kolektif kita.
Dengan
banyaknya istilah “binatangisme” ini, mungkin juga sebagian atau bahkan mayoritas
masyarakat negeri yang katanya kaya raya ini menatap, menggambarkan dan
menginterprestasikan prilaku para politisi kita (baca:pejabat publik) dalam
mengelola negara.
Dalam
kaitan itu, “dunia binatang” adalah semacam fenomena “kebahasaan” yang muncul
dari sebuah perlawanan diam-diam untuk menegaskan “rasa muak” masyarakat
terhadap model pengelolaan publik yang di amanatkan kepada para pejabatnya.
Selain
itu, dalam membedah sebuah budaya masyarakat melalui kebahasaan, fenomena ini
teramat jelas dan gamblang untuk dijadikan gambaran para politisi kita yang terkesan
“mendekati” perilaku binatang. Atau setidak-tidaknya mulai “tercium” gelagat
“binatangisme” dalam setiap ucapan dan prilaku pejabat kita. Bagaimana dengan
anda?
Komik politik/Ist |
---Bersambung---
Kasongan,
6/12 2012.
Posting Komentar