Ilustrasi/Arisan |
Tiba-tiba saja kawan
lama chat untuk ikut bersua di DC (Debat Club) kaskus, setelah mengikuti link room
bertopik “Hirup Pikuk Pilkada” sudah
banyak member yang koar-koar kesana kemari. Banyak hal yang terbahas di forum
milik Andrew Darwis tersebut. Mulai dari yang skeptis hingga yang kelewat
optimis.
Namun ada komentar
nyentrik sekaligus revolusioner, “Pemilihan
kepala daerah sebaiknya di undi saja seperti arisan. Serupa yang sering
dilakukan oleh ibu-ibu dikompleks perumahan. Selain murah dan fair, juga tidak
terjadi konflik,” katanya.
Melihat kondisi
demokrasi yang semakin carut marut di Republik Tempe, sepertinya ide tersebut
sangat relevan dengan kondisi pilkada hari ini yang ternyata tidak banyak
menghasilkan pemimpin yang diharapkan. Pada intonasi suara teman saya tadi,
saya menangkap gelagat pesimis dan putus asa atas praktik demokrasi yang
bernama pilkada langsung.
Menilik history pemilihan
kepala daerah secara langsung di Indonesia berawal dari espektasi masyarakat
yang ingin melihat figur-figur potensial tampil sebagai pemimpin. Pilkada
langsung ingin mewujudkan konsep reward and punishment kepada politisi atau
tokoh masyarakat. Tokoh yang dianggap memiliki kredibilitas akan diganjar
dengan memilihnya sebagai pemimpin dan sebaliknya tokoh yang dinilai buruk
diganjar dengan hukuman, yakni tidak dipilih dalam arena kontestasi.
Selama kurang lebih
hampir 8 tahun pilkada langsung diselenggarakan, spirit awal dari lahirnya
Pilkada langsung semakin meredup. Kesadaran masyarakat untuk memberi
penghukuman ataupun penghargaan lebur dalam hiruk pikuk politik pragmatis.
Mereka terjebak dalam konsep politik sirkus. Seperti tarian pemain sirkus yang
mengikuti tabuhan gendang yang dimainkan oleh para pawang. Mereka menari
meliuk-liuk, sesekali meloncat, berjingkrat dan tertawa-tawa seperti orang yang
berada dalam pengaruh alkohol. Menghukum tokoh yang tidak amanah kemudian aus
ditelan pekik euphoria demokrasi semu.
Mengintip sisi
anggaran, penyelenggaraan pilkada langsung menelan biaya yang tidak sedikit.
Berdasarkan hasil temuan Fitra, gelaran pilkada di Indonesia sangat memboroskan
anggaran daerah. Kalau dihitung-hitung, bisa menguras triliunan rupiah.
Dijelaskan, setiap
kali pilkada di kabupaten/kota, maka negara akan mengeluarkan biaya sekitar Rp
25 miliar. Sedangkan, ongkos pilkada provinsi Rp 100 miliar. “Jadi untuk
keseluruhan pilkada di Indonesia diperlukan Rp 17 triliun,” ungkap SEKJEN
Sekretariat Nasional Fitra Yuna Farhan.
Sebuah ironi yang
tak terkira, menghabiskan uang Negara untuk sebuah pesta semu. Anggaran yang
seharusnya bisa digunakan untuk membangun pendidikan, kesehatan, jalan, dana
sarana lainnya harus raib tanpa jejak. Yang lebih celaka, kalau ternyata kepala
daerah hasil Pilkada itu hanya seorang Koruptor.
Sebenarnya kita
berharap, mahalnya anggaran sejatinya harus berbanding lurus dengan pemimpin
yang dihasilkan. Dengan demikian biaya yang digunakan dalam pilkada tersebut
dianggap sebagai investasi masa depan.
Lalu siapa yang
salah? Apakah rakyat yang telah lupa diri dengan mengabaikan konsep reward and
punishment tadi atau model recruitment partai politik yang amburadul?
Kebobrokan pilkada
hari ini dengan mudah dapat kita temukan jejaknya. Rekruitmen calon kepala
daerah oleh partai politik tidak berdasarkan kompetensi dan kredibilitas.
Tetapi cenderung lebih pada siapa yang mampu membayar mahar sebagai persyaratan
partai politik pengusung. Partai politik menggunakan logika dagang. Siapa yang
mampu bayar, maka dialah pengendaranya.
Akhirnya, ungkapan
teman saya di atas soal pilkada yang di undi saja, menjadi sesuatu yang sangat
mudah dipahami. Sebuah keputusasaan. Tapi apakah dengan semua itu, lantas
Pilkada dihilangkan?
Posting Komentar