Oleh; Vitrah Nusantara Tinggal di Germany
Bukan Sengkuni-nya Pilkada |
Meski teorinya (jika kata “aturan” kurang akomodatif dan terlalu intimidatif) pegawai negeri
sipil (PNS) tidak boleh berpihak pada salah satu kandidat pemilihan kepala
daerah (pilkada), mungkinkah abdi negara tersebut bisa netral?
Sepertinya pertanyaan
ini tidak hanya berlaku pada kuli Negara di Kabupaten Katingan saja, namun lebih
luas lagi yakni nasional. Apalagi jika kita melakukan pendekatan bahwa Individu
manusia terbangun oleh rasa memiliki dan kebanggan atas suatu figur atau
sifat-sifat sebaliknya, maka netralitas yang diharapkan, bahkan dari PNS rasanya
sangat mustahil untuk dipenuhi.
Pernyataan saya
diatas tidak ada sedikitpun untuk mengeneralisir, namun atas dasar “pasti ada”. Saya sengaja menggantikan
kata “aturan” menjadi “teori” karena saya tidak mau terlalu
besar berharap dengan peneggakkannya. Jika sebaliknya, siap-siap saja
dikecewakan nantinya.
Membahas netralitas,
dari sedikit pemahaman penulis adalah sebuah sikap yang tidak berpihak pada
satu kelompok atau perorangan. Mereka yang memiih netral akan selalu berada di
tengah-tengah. Kata “tengah-tengah” ini juga sejatinya sebuah pilihan yang
notabene sebagai bagian dari keberpihakan. Oleh sebab itu, netralitas bagi PNS
yang digembar-gemborkan oleh orang-orang yang sebenarnya juga PNS, hanya untuk
bersembunyi dari tudingan.
Agak sulit memang
untuk memercayai bahwa PNS tidak berpihak. Berbeda dengan netralitas kalangan TNI-Polri
karena institusi ini memang tidak punya hak suara. Oleh karena itu, sikap PNS
dalam politik bisa ibarat pisau bermata dua. Mereka dituntut netral, tapi pada
sisi lain dia harus akomodatif dan “berserah-diri” (tepatnya: patuh) pada
atasan (yang berkuasa). Toleransi dan akomodatif bawahan terhadap atasan ini,
barangkali gampang kita temukan di diri PNS.
Terutama dalam
menjelang perhelatan pilkada. Kalaupun PNS mau siap netral, tetapi kandidat
yang kebetulan incumbent dipastikan memainkan perannya untuk “menghasut” atau
kalau memungkinkan “mengintimidasi” agar mengelola suara bagi pemenangan
kandidat incumbent sehingga begitu akhirnya kemenangan berpihak pada incumbent,
syukur-syukur dipromosikan suatu jabatan dan failitas-fasilitas lainnya.
Bahkan salah satu
kawan sempat berpendapat; Jika dikemudian hari dukungan ini menjadikannya boomerang
baginya, sang PNS yang mengandalkan lobi dan upeti inilah yang akan
menggantikan tokoh pewayangan Sengkuni.
Kerjanya, “kasak kusuk nyari muka dan menjilatin pantat majikan yang baru”.
Bahkan cara seperti
ini terasa dan bisa kita rasakan, sekiranya kita mau investigasi, yaitu
bagaimana para camat hingga lurah yang berpihak kepada salah satu kandidat yang
terutama calon dari incumbent. Untuk “perbuatan”
semacam ini, kita ambil saja salah satu contoh kasus di Kota Bandar Lampung.
Misalnya, di satu kecamatan terpampang salah satu wajah incumbent, maka calon
incumbent yang satunya lagi mendesak pejabat di kecamatan agar menurunkannya.
Begitu sebaliknya.
Atau tatkala Eddy
Sutrisno sebagai wali kota Bandar Lampung yang kini incumbent dalam pertemuan
di suatu kecamatan mengklaim kesuksesan pembangunan di kota ini karena
kepemimpinannya, maka otomatis Kherlani yang wakil Eddy dan kini maju sebagai
wali kota juga mengklaim kesuksesan di kota ini karena kebijakannya. Begitulah
seterusnya.
Meskipun demikian
tentu saja beda Bandar Lampung, beda juga Kabupaten Katingan. Tapi tak dapat
kita pungkiri kalau main klaim sudah pasti akan digunakan dimanapun, tak
terkecuali di tanah Penyang Hinje Simpei
ini. Tentunya kecerdasaan pemilihlah yang diharapkan disini, tidak lagi memilih
atas dasar pencitraan politik, melainkan atas dasar kualitas kandidat.
Kembali pada
netralitas PNS, selama ini netralitas PNS dimaknai tatkala di dalam bilik
pemungutan suara. Artinya netralitas itu sama dengan tanpa intimidasi untuk
menentukan pilihan. Padahal, bukan sebatas itu. Justru netralitas PNS yang
diharapan adalah sejak sosialisasi, kampanye, hingga pada saat pencoblosan.
Makna netral adalah ketika setiap pihak tidak merasa diintimidasi dan
mengintimidasi.
Sebagai warga Negara,
PNS juga punya hak politik yang sama. Dengan begitu, PNS punya nama yang layak
menjadi atasannya kelak seusai pilkada. Siapa pun tak ada yang berani
menyalahkan pandangan ini. Hanya saja selama ini yang kita saksikan, PNS “ikut” meski secara diam-diam alias
sembunyi-sembunyi masuk dalam tim pemenangan sehingga pada masa kampanye,
terutama PNS yang memiliki jabatan, menggunakan fasilitas negara demi
menyukseskan kampanye salah satu kandidat yang kebetulan incumbent.
Lebih miris lagi,
ketika di arena kampanye dipertontonkan banyaknya kenderaan negara yang disulap
menjadi milik pribadi. Entah nomor polisi yang sekonyong-konyong berpelat hitam
atau hilangnya atribut lain yang sebelumnya menempel di kendaraan tersebut.
Selain hilir-mudik para pejabat di arena kampanye maupun yang duduk tertib saat
calon incumbent berkampanye. Cara seperti ini jelas tidak adil dan merugikan
kandidat lain, yang saat mencalonkan diri pada pilkada bukan incumbent. Satu
poin calon di luar incumbent sudah tercuri.
Maka itu, sebenarnya
tidak sulit menakar netralitas PNS dalam arena politik pilkada. PNS yang jauh
dari sumbu kekuasaan sangat dimungkinkan akan berpikiran: siapa pun kepala
daerahnya sama saja, dan ia tetap akan loyal. Sementara bagi yang dekat atau
PNS yang terbiasa “menjilat”, maka
perhelatan pilkada akan dimanfaatkan semaksimal mungkin demi mengubah nasib
kemudian hari. Sedang posisi PNS yang ketiga, akan bermain di dua kaki. Sikap
PNS yang terakhir ini lebih berbahaya, mereka bisa jadi penumpang gelap yang
memetik keuntungan saat kereta telah berjalan.
Lalu netralitas PNS
yang mana kita harapkan? Sebagai abdi sipil, seharusnya loyalitas seorang PNS
bukan di saat pemilihan kepala daerah atau di ranah politik, tetapi kepada
seseorang saat memimpin: siapa pun dia. PNS dapat menunjukkan loyalitas itu
melalui kinerja dan sinergi kepada pemimpinnya di saat bukan sedang menjadi
incumbent di arena pilkada.
Tetapi melihat
realitas pada setiap pilkada, masih mungkinkah PNS tidak berpihak? Dan
keberpihakan itu bukan tanpa resiko. Artinya seusai pilkada dan kebetulan yang
keluar sebagai pememang bukan yang didukung, maka PNS yang bersangkutan akan
dicopot dari dari jabatan dan tidak mendapatkan tempat. Bisa-bisa diasingkan
dalam kotak bernama staf ahli bagi eselon yang patut, sementara di jajaran
bawah alamat akan dilempar tanpa job. Wallahu'alam bissawab
Posting Komentar