Menakar Netralitas PNS Dalam Pilkada, Mungkinkah?

Rabu, 16 Januari 20130 komentar

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

Oleh; Vitrah Nusantara Tinggal di Germany

Bukan Sengkuni-nya Pilkada
Meski teorinya (jika kata “aturan” kurang akomodatif dan terlalu intimidatif) pegawai negeri sipil (PNS) tidak boleh berpihak pada salah satu kandidat pemilihan kepala daerah (pilkada), mungkinkah abdi negara tersebut bisa netral?

Sepertinya pertanyaan ini tidak hanya berlaku pada kuli Negara di Kabupaten Katingan saja, namun lebih luas lagi yakni nasional. Apalagi jika kita melakukan pendekatan bahwa Individu manusia terbangun oleh rasa memiliki dan kebanggan atas suatu figur atau sifat-sifat sebaliknya, maka netralitas yang diharapkan, bahkan dari PNS rasanya sangat mustahil untuk dipenuhi.

Pernyataan saya diatas tidak ada sedikitpun untuk mengeneralisir, namun atas dasar “pasti ada”. Saya sengaja menggantikan kata “aturan” menjadi “teori” karena saya tidak mau terlalu besar berharap dengan peneggakkannya. Jika sebaliknya, siap-siap saja dikecewakan nantinya.

Membahas netralitas, dari sedikit pemahaman penulis adalah sebuah sikap yang tidak berpihak pada satu kelompok atau perorangan. Mereka yang memiih netral akan selalu berada di tengah-tengah. Kata “tengah-tengah” ini juga sejatinya sebuah pilihan yang notabene sebagai bagian dari keberpihakan. Oleh sebab itu, netralitas bagi PNS yang digembar-gemborkan oleh orang-orang yang sebenarnya juga PNS, hanya untuk bersembunyi dari tudingan.

Agak sulit memang untuk memercayai bahwa PNS tidak berpihak. Berbeda dengan netralitas kalangan TNI-Polri karena institusi ini memang tidak punya hak suara. Oleh karena itu, sikap PNS dalam politik bisa ibarat pisau bermata dua. Mereka dituntut netral, tapi pada sisi lain dia harus akomodatif dan “berserah-diri” (tepatnya: patuh) pada atasan (yang berkuasa). Toleransi dan akomodatif bawahan terhadap atasan ini, barangkali gampang kita temukan di diri PNS.

Terutama dalam menjelang perhelatan pilkada. Kalaupun PNS mau siap netral, tetapi kandidat yang kebetulan incumbent dipastikan memainkan perannya untuk “menghasut” atau kalau memungkinkan “mengintimidasi” agar mengelola suara bagi pemenangan kandidat incumbent sehingga begitu akhirnya kemenangan berpihak pada incumbent, syukur-syukur dipromosikan suatu jabatan dan failitas-fasilitas lainnya.

Bahkan salah satu kawan sempat berpendapat; Jika dikemudian hari dukungan ini menjadikannya boomerang baginya, sang PNS yang mengandalkan lobi dan upeti inilah yang akan menggantikan tokoh pewayangan Sengkuni. Kerjanya, “kasak kusuk nyari muka dan menjilatin pantat majikan yang baru”.

Bahkan cara seperti ini terasa dan bisa kita rasakan, sekiranya kita mau investigasi, yaitu bagaimana para camat hingga lurah yang berpihak kepada salah satu kandidat yang terutama calon dari incumbent. Untuk “perbuatan” semacam ini, kita ambil saja salah satu contoh kasus di Kota Bandar Lampung. Misalnya, di satu kecamatan terpampang salah satu wajah incumbent, maka calon incumbent yang satunya lagi mendesak pejabat di kecamatan agar menurunkannya. Begitu sebaliknya.

Atau tatkala Eddy Sutrisno sebagai wali kota Bandar Lampung yang kini incumbent dalam pertemuan di suatu kecamatan mengklaim kesuksesan pembangunan di kota ini karena kepemimpinannya, maka otomatis Kherlani yang wakil Eddy dan kini maju sebagai wali kota juga mengklaim kesuksesan di kota ini karena kebijakannya. Begitulah seterusnya.

Meskipun demikian tentu saja beda Bandar Lampung, beda juga Kabupaten Katingan. Tapi tak dapat kita pungkiri kalau main klaim sudah pasti akan digunakan dimanapun, tak terkecuali di tanah Penyang Hinje Simpei ini. Tentunya kecerdasaan pemilihlah yang diharapkan disini, tidak lagi memilih atas dasar pencitraan politik, melainkan atas dasar kualitas kandidat.

Kembali pada netralitas PNS, selama ini netralitas PNS dimaknai tatkala di dalam bilik pemungutan suara. Artinya netralitas itu sama dengan tanpa intimidasi untuk menentukan pilihan. Padahal, bukan sebatas itu. Justru netralitas PNS yang diharapan adalah sejak sosialisasi, kampanye, hingga pada saat pencoblosan. Makna netral adalah ketika setiap pihak tidak merasa diintimidasi dan mengintimidasi.

Sebagai warga Negara, PNS juga punya hak politik yang sama. Dengan begitu, PNS punya nama yang layak menjadi atasannya kelak seusai pilkada. Siapa pun tak ada yang berani menyalahkan pandangan ini. Hanya saja selama ini yang kita saksikan, PNS “ikut” meski secara diam-diam alias sembunyi-sembunyi masuk dalam tim pemenangan sehingga pada masa kampanye, terutama PNS yang memiliki jabatan, menggunakan fasilitas negara demi menyukseskan kampanye salah satu kandidat yang kebetulan incumbent.

Lebih miris lagi, ketika di arena kampanye dipertontonkan banyaknya kenderaan negara yang disulap menjadi milik pribadi. Entah nomor polisi yang sekonyong-konyong berpelat hitam atau hilangnya atribut lain yang sebelumnya menempel di kendaraan tersebut. Selain hilir-mudik para pejabat di arena kampanye maupun yang duduk tertib saat calon incumbent berkampanye. Cara seperti ini jelas tidak adil dan merugikan kandidat lain, yang saat mencalonkan diri pada pilkada bukan incumbent. Satu poin calon di luar incumbent sudah tercuri.

Maka itu, sebenarnya tidak sulit menakar netralitas PNS dalam arena politik pilkada. PNS yang jauh dari sumbu kekuasaan sangat dimungkinkan akan berpikiran: siapa pun kepala daerahnya sama saja, dan ia tetap akan loyal. Sementara bagi yang dekat atau PNS yang terbiasa “menjilat”, maka perhelatan pilkada akan dimanfaatkan semaksimal mungkin demi mengubah nasib kemudian hari. Sedang posisi PNS yang ketiga, akan bermain di dua kaki. Sikap PNS yang terakhir ini lebih berbahaya, mereka bisa jadi penumpang gelap yang memetik keuntungan saat kereta telah berjalan.

Lalu netralitas PNS yang mana kita harapkan? Sebagai abdi sipil, seharusnya loyalitas seorang PNS bukan di saat pemilihan kepala daerah atau di ranah politik, tetapi kepada seseorang saat memimpin: siapa pun dia. PNS dapat menunjukkan loyalitas itu melalui kinerja dan sinergi kepada pemimpinnya di saat bukan sedang menjadi incumbent di arena pilkada.

Tetapi melihat realitas pada setiap pilkada, masih mungkinkah PNS tidak berpihak? Dan keberpihakan itu bukan tanpa resiko. Artinya seusai pilkada dan kebetulan yang keluar sebagai pememang bukan yang didukung, maka PNS yang bersangkutan akan dicopot dari dari jabatan dan tidak mendapatkan tempat. Bisa-bisa diasingkan dalam kotak bernama staf ahli bagi eselon yang patut, sementara di jajaran bawah alamat akan dilempar tanpa job. Wallahu'alam bissawab
Share this article :

Posting Komentar

Followers My Blog

 
Support : Creating Website | Fahruddin Fitriya SH | Kecoak Elektronik
Copyright © 2012. PENA FITRIYA - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Vitrah Nusantara
Proudly powered by Blogger