Dibalik
keistimewaannya, manusia tetap saja takkan pernah luput dari yang namanya lupa.
Lupa pada bahagia, lupa pada duka, lupa pada rupa dan seabrek kelupaan/kealpaan
lainnya. Namun, ada satu produk budaya yang mampu menghapus dan mengobati
sebagian dari lupa itu: keabadian sebuah foto.
Berkat
penemuan manusia untuk mencipta sebuah foto inilah sebagian lupa diatas
terobati. Foto atau potret hidup manusia menjadi deretan imajinasi visual yang
mengajak mereka untuk kembali menyusun sebuah kisah ataupun keluh kesah. Dalam
situasi itulah, manusia seperti menemukan kembali kenyataan dirinya, biografi
eksistensialnya.
Bahkan,
hampir sederet perjalanan hidup manusia terbingkai apik pada sebuah gambar
bernama foto, dengan foto manusia bisa menemukan dan melihat masa-masa hidupnya
yang telah berlalu. Imajinasi yang dalam pun menciptakan dunia tersendiri dalam
memori kita.
Karena
ia melihat dan tertarik pada sekumpulan foto karya Ara Guler, Orhan Pamuk,
sastrawan berkebangsaan Turki dianugrahi nobel sastra pada 2009 silam. Dari
kumpulan foto itu, Pamuk tertarik pada potret kehidupan kota Istanbul. Foto
tersebut baginya bukanlah sebuah kenangan yang sesaat belaka. Potret kota
Istanbul justru menjadi sebuah kenangan yang merangkai bersejarah, baik baginya
maupun bangsanya.
Apalagi
ketika ia menjelajah dokumentasi fotografis atas jalan Beyoglu (yang dimulai
sejak dia masih menjadi pelajar Galatasary Lisei dan berlanjut selama empat
puluh dua tahun dia bekerja di Cumhuriyet), ia berkata, ”…saya seperti
mendapatkan tiket masuk ke sebuah dunia magis yang tersembunyi”.
Lebih
jauh foto tak sekadar menjelmakan sebuah kisah, tetapi juga membongkar sebuah
kebenaran, katakanlah dari sebuah realitas imajiner yang diwujudkan oleh karya
sastra. Itulah yang mungkin disiratkan buku Kian Kemari: Indonesia dan Belanda
dalam Sastra (1973).
Pada
buku tersebut, seorang penulis keturunan Indo-Belanda yang bernama Rob
Niewenhuys membongkar roman karya Louis Couperus (1863-1923) yang berjudul
Kekuatan yang Diam. Roman yang mengisahkan tentang masa kediaman keluarga
Couperus di Tegal dan Pasuruan, ia cek silang melalui foto-foto yang
didapatnya. Dari foto tersebut, Niewenhuys dapat mengenal kembali Pasuruan di
zaman Couperus masih hidup.
Dari
foto-foto itu ia menemukan sebuah gambaran yang tidak seluruhnya sesuai realitas
romannya. Maka, dari situlah Rob Niewenhuys mengetahui bahwa realitas fiksi
terkadang berbeda dengan realitas duniawi. Hubungan foto dan fiksi ternyata
menciptakan ketegangan di antara dua realitas. Informasi yang muncul dari
sebuah foto ternyata adalah kenyataan yang dapat bermakna ambigu.
Dan
ambiguitas dalam foto itu yang kadang dimanfaatkan oleh manusia-manusia
tertentu demi kepentingan penciptaan citra tertentu, citra ambigu yang kerap
berlainan dengan kenyataannya. Foto pun telah (dapat) menjadi medium, alat
tepatnya, untuk penciptaan dunia palsu yang menipu kesadaran publik.
Maka
tak salah apabila Joko Pinurbo dalam sajak Tukang Potret Keliling (2007)
menanyakan keklisean (kemenduaan atau kepalsuan) sebuah foto. ”Ini wajahku,
wajahmu, atau wajah kita?,” begitu tulis penyair asal Yogyakarta itu.
Barangkali ada banyak wajah dalam sebuah foto, tetapi benarkah itu wajah yang
sesungguhnya. Meminjam Joko lagi, bahwa sebenarnya ”ada foto” tentang mereka,
”tapi tak ada foto dirinya (mereka).”
Dari
sekian keistimewaan sebuah imajinasi yang terbingkai oleh sebuah foto, ternyata
sebuah gambar realitas kehidupan ini dapat menyesatkan, misalnya, memilih
seseorang hanya berdasarkan sebuah foto. Kita bisa tertipu tidak hanya sekali
atau lima tahun, tetapi bisa selamanya.
Kasongan,
20/1 2013
Posting Komentar