Foto; Antara Rangkaian Sejarah dan Pencitraan Palsu

Minggu, 20 Januari 20130 komentar

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

Dibalik keistimewaannya, manusia tetap saja takkan pernah luput dari yang namanya lupa. Lupa pada bahagia, lupa pada duka, lupa pada rupa dan seabrek kelupaan/kealpaan lainnya. Namun, ada satu produk budaya yang mampu menghapus dan mengobati sebagian dari lupa itu: keabadian sebuah foto.

Berkat penemuan manusia untuk mencipta sebuah foto inilah sebagian lupa diatas terobati. Foto atau potret hidup manusia menjadi deretan imajinasi visual yang mengajak mereka untuk kembali menyusun sebuah kisah ataupun keluh kesah. Dalam situasi itulah, manusia seperti menemukan kembali kenyataan dirinya, biografi eksistensialnya.

Bahkan, hampir sederet perjalanan hidup manusia terbingkai apik pada sebuah gambar bernama foto, dengan foto manusia bisa menemukan dan melihat masa-masa hidupnya yang telah berlalu. Imajinasi yang dalam pun menciptakan dunia tersendiri dalam memori kita.

Karena ia melihat dan tertarik pada sekumpulan foto karya Ara Guler, Orhan Pamuk, sastrawan berkebangsaan Turki dianugrahi nobel sastra pada 2009 silam. Dari kumpulan foto itu, Pamuk tertarik pada potret kehidupan kota Istanbul. Foto tersebut baginya bukanlah sebuah kenangan yang sesaat belaka. Potret kota Istanbul justru menjadi sebuah kenangan yang merangkai bersejarah, baik baginya maupun bangsanya.

Apalagi ketika ia menjelajah dokumentasi fotografis atas jalan Beyoglu (yang dimulai sejak dia masih menjadi pelajar Galatasary Lisei dan berlanjut selama empat puluh dua tahun dia bekerja di Cumhuriyet), ia berkata, ”…saya seperti mendapatkan tiket masuk ke sebuah dunia magis yang tersembunyi”.

Lebih jauh foto tak sekadar menjelmakan sebuah kisah, tetapi juga membongkar sebuah kebenaran, katakanlah dari sebuah realitas imajiner yang diwujudkan oleh karya sastra. Itulah yang mungkin disiratkan buku Kian Kemari: Indonesia dan Belanda dalam Sastra (1973).

Pada buku tersebut, seorang penulis keturunan Indo-Belanda yang bernama Rob Niewenhuys membongkar roman karya Louis Couperus (1863-1923) yang berjudul Kekuatan yang Diam. Roman yang mengisahkan tentang masa kediaman keluarga Couperus di Tegal dan Pasuruan, ia cek silang melalui foto-foto yang didapatnya. Dari foto tersebut, Niewenhuys dapat mengenal kembali Pasuruan di zaman Couperus masih hidup.

Dari foto-foto itu ia menemukan sebuah gambaran yang tidak seluruhnya sesuai realitas romannya. Maka, dari situlah Rob Niewenhuys mengetahui bahwa realitas fiksi terkadang berbeda dengan realitas duniawi. Hubungan foto dan fiksi ternyata menciptakan ketegangan di antara dua realitas. Informasi yang muncul dari sebuah foto ternyata adalah kenyataan yang dapat bermakna ambigu.

Dan ambiguitas dalam foto itu yang kadang dimanfaatkan oleh manusia-manusia tertentu demi kepentingan penciptaan citra tertentu, citra ambigu yang kerap berlainan dengan kenyataannya. Foto pun telah (dapat) menjadi medium, alat tepatnya, untuk penciptaan dunia palsu yang menipu kesadaran publik.

Maka tak salah apabila Joko Pinurbo dalam sajak Tukang Potret Keliling (2007) menanyakan keklisean (kemenduaan atau kepalsuan) sebuah foto. ”Ini wajahku, wajahmu, atau wajah kita?,” begitu tulis penyair asal Yogyakarta itu. Barangkali ada banyak wajah dalam sebuah foto, tetapi benarkah itu wajah yang sesungguhnya. Meminjam Joko lagi, bahwa sebenarnya ”ada foto” tentang mereka, ”tapi tak ada foto dirinya (mereka).”

Dari sekian keistimewaan sebuah imajinasi yang terbingkai oleh sebuah foto, ternyata sebuah gambar realitas kehidupan ini dapat menyesatkan, misalnya, memilih seseorang hanya berdasarkan sebuah foto. Kita bisa tertipu tidak hanya sekali atau lima tahun, tetapi bisa selamanya.

Kasongan, 20/1 2013
Share this article :

Posting Komentar

Followers My Blog

 
Support : Creating Website | Fahruddin Fitriya SH | Kecoak Elektronik
Copyright © 2012. PENA FITRIYA - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Vitrah Nusantara
Proudly powered by Blogger