Ilustrasi |
Memang tidak akan pernah ada habisnya
jika kita membahas dunia Jurnalistik, selalu ada yang berbeda dan tentunya
lebih baru dari hal baru, berbicara masa kini, masa lalu dan masa depan tentu
saja akan lebih objektif jika yang mengulasnya orang diluar lingkaran setan
dunia tulis menulis ini.
Dari sekian ulasan, ada hal menarik
yang diulas seorang akademisi Prof. Adrianus Meliala mengenai dunia yang
semakin kedepan semakin kabur arahnya ini. Kepeduliannya terhadap dunia unik bernama
jurnalisme perlu kita apresiasi, dan saya sangat berharap koreksinya mempu
menjadikan cerminan bagi kita.
Dalam artikelnya beliau menyinggung
tentang tindakan main hakim sendiri, dimana tidak sedikit jurnalis sering kali
menerabas prosedur demi kepentingan sepihak atau kecenderungan memaksakan
pendapat pada orang lain, dewasa ini, cenderung dilihat sebagai perwujudan
premanisme. Inilah semacam ‘isme’ baru yang lahir sebagai kontraksi atas
pertarungan antara mekanisme pasar (yang pada dasarnya adalah hukum rimba) dan
mekanisme normatif (bersandar pada aturan).
Menurutnya, bila ‘preman’ adalah pelaku
tradisional premanisme, maka kini premanisme telah bermetamorfosa dalam
berbagai bentuk. Jelasnya, hal itu dapat dilakukan siapa saja. Tidak ada pihak
yang benar-benar kebal dari penyakit ini. Alih-alih tak disukai, kini konon
semakin banyak penggemarnya. Mengapa demikian? Isme baru ini tak jarang, memang
ampuh, efisien dan efektif dalam menyelesaikan masalah.
Wartawan, konon, kini semakin banyak
pula yang doyan premanisme. Tak percaya? Saya perlihatkan beberapa ilustrasi:
Ilmu jurnalistik tidak pernah melarang
berapa kali orang perlu melakukan klarifikasi. Demi akurasi, logikanya, semakin
banyak mengadakan klarifikasi akan semakin baik. Kini, dengan berbagai dalih,
klarifikasi berita cenderung dihindari. Karena dikhawatirkan harus mengulang
kerja, terpaksa mencari bahan baru, harus mengulang interview, harus mengubah
angle berita atau bahkan harus mengubah konsep iklan, maka klarifikasi
cenderung bukan kegiatan yang populer di mata wartawan. Soal akibatnya pada
orang-orang yang terkait dengan berita yang harusnya diklarifikasi, tidak
pernah diperhitungkan. Apa itu bukan premanisme namanya?
Contoh lain, wartawan yang memiliki
informasi bahwa penyidik kepolisian atau kejaksaan tengah merencanakan
“membidik” seseorang dengan sangkaan tertentu lalu buru-buru menghubungi orang
tersebut. Kalau hanya sekadar membocorkan informasi dengan motif imbalan uang,
itu relatif tak menjadi masalah. Yang repot adalah, wartawan kemudian ikut-ikut
menjadi penyidik partikelir dengan cara menekan orang tersebut pula. Atau
mengancam hendak memberitakan bila tidak diberi uang.
Yang lebih kasar lagi adalah, tindakan
orang-orang yang mengaku jurnalis dan datang menemui pejabat guna, tanpa tedeng
aling-aling, meminta uang dengan beribu alasan. Celakanya lagi, jika tidak
diberi, lalu memaksa dan marah-marah. Lebih jauh dari itu, ada pula yang
mengancam dan bahkan melakukan kekerasan.
Tiga contoh tersebut saya rangkum dari
beberapa kasus yang pernah saya dengar dan baca beberapa waktu yang lalu.
Artinya, besaran fakta yang sebenarnya tidak pernah diketahui. Kemungkinan
besar, pada kenyataannya, praktek-praktek tersebut jauh lebih banyak terjadi
namun tidak diberitakan. Itu artinya, fenomena premanisme di kalangan wartawan
itu jauh lebih serius dari yang kita duga.
Hal ini, seperti biasa, dapat
dikomentari dari berbagai segi. Dewan pers, misalnya, akan bicara dari sisi
sejauh mana hal itu melanggar Kode Etik Jurnalistik. Para pengamat politik, di
pihak lain, mungkin mengomentarinya dari sudut pers sebagai pilar demokrasi
yang membela kepentingan masyarakat sipil.
Kriminologi, lain lagi. Selain
kriminologi telah mengawalinya melalui pengaitan konsep premanisme dan
kewartawanan, kriminologi lebih jauh memandangnya sebagai kombinasi kejahatan
korporasi dan profesional. Hal mana menjadikan penanggulangannya jauh lebih
problematis.
Disadari bahwa tak ada wartawan tanpa
lembaga yang namanya media massa. Keduanya saling terkait dan saling mempengaruhi.
Alhasil, ketika ada wartawan suatu media massa yang melakukan praktek
pemerasan, praktek pengrusakan nama baik ataupun praktek-praktek lain yang
merugikan citra wartawan, kita bisa bertanya seberapa jauh kontribusi media
dari si wartawan tersebut. Jangan-jangan, perilaku tersebut direstui mengingat
media sebagai korporasi tidak mampu membayar baik wartawannya.
Selain itu, wartawan juga melakukan
kejahatan profesional mengingat yang bersangkutan telah menerabas berbagai hal,
mulai dari kode etik profesinya sendiri, aturan main asosiasi kewartawanan
hingga hukum pidana.
Pelajaran yang bisa diambil adalah,
bila premanisme wartawan hendak diberantas, implikasikan perusahaan tempat si
wartawan bekerja. Perusahaan hendaknya bertanggungjawab atas perilaku
karyawannya. Selanjutnya, aktifkan peradilan profesi bagi mereka. Sejauh ini,
kita belum banyak mendengar hal itu dilakukanoleh asosiasi profesi
kewartawanan.
Bagaimana dengan wartawan bodrek?
Karena wartawan jenis ini sebenarnya tak punya institusi, maka bagaimana hendak
mengatakan ada konteks kejahatan korporasi dalam hal ini. Sekaligus, karena
wartawan ini tak terdaftar di asosiasi profesi seperti Persatuan Wartawan
Indonesia, mereka jelas bukan professional di bidang kewartawanan. Singkatnya, bila
wartawan jenis ini melakukan premanisme, hukum pidana adalah saluran hukum yang
paling tepat.
Artikel ini sebelumnya sudah di posting
di Web blog pribadi Prof. Adrianus Meliala, diposting kembali semata mata untuk
tujuan pendidikan dan bahan koreksi bagi kuli tinta yang saat ini tengah berada
dipersimpangan jalan.
Posting Komentar