Premanisme Dunia Jurnalistik

Selasa, 22 Januari 20130 komentar

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم


Ilustrasi
Memang tidak akan pernah ada habisnya jika kita membahas dunia Jurnalistik, selalu ada yang berbeda dan tentunya lebih baru dari hal baru, berbicara masa kini, masa lalu dan masa depan tentu saja akan lebih objektif jika yang mengulasnya orang diluar lingkaran setan dunia tulis menulis ini.

Dari sekian ulasan, ada hal menarik yang diulas seorang akademisi Prof. Adrianus Meliala mengenai dunia yang semakin kedepan semakin kabur arahnya ini. Kepeduliannya terhadap dunia unik bernama jurnalisme perlu kita apresiasi, dan saya sangat berharap koreksinya mempu menjadikan cerminan bagi kita.

Dalam artikelnya beliau menyinggung tentang tindakan main hakim sendiri, dimana tidak sedikit jurnalis sering kali menerabas prosedur demi kepentingan sepihak atau kecenderungan memaksakan pendapat pada orang lain, dewasa ini, cenderung dilihat sebagai perwujudan premanisme. Inilah semacam ‘isme’ baru yang lahir sebagai kontraksi atas pertarungan antara mekanisme pasar (yang pada dasarnya adalah hukum rimba) dan mekanisme normatif (bersandar pada aturan).

Menurutnya, bila ‘preman’ adalah pelaku tradisional premanisme, maka kini premanisme telah bermetamorfosa dalam berbagai bentuk. Jelasnya, hal itu dapat dilakukan siapa saja. Tidak ada pihak yang benar-benar kebal dari penyakit ini. Alih-alih tak disukai, kini konon semakin banyak penggemarnya. Mengapa demikian? Isme baru ini tak jarang, memang ampuh, efisien dan efektif dalam menyelesaikan masalah.

Wartawan, konon, kini semakin banyak pula yang doyan premanisme. Tak percaya? Saya perlihatkan beberapa ilustrasi:

Ilmu jurnalistik tidak pernah melarang berapa kali orang perlu melakukan klarifikasi. Demi akurasi, logikanya, semakin banyak mengadakan klarifikasi akan semakin baik. Kini, dengan berbagai dalih, klarifikasi berita cenderung dihindari. Karena dikhawatirkan harus mengulang kerja, terpaksa mencari bahan baru, harus mengulang interview, harus mengubah angle berita atau bahkan harus mengubah konsep iklan, maka klarifikasi cenderung bukan kegiatan yang populer di mata wartawan. Soal akibatnya pada orang-orang yang terkait dengan berita yang harusnya diklarifikasi, tidak pernah diperhitungkan. Apa itu bukan premanisme namanya?

Contoh lain, wartawan yang memiliki informasi bahwa penyidik kepolisian atau kejaksaan tengah merencanakan “membidik” seseorang dengan sangkaan tertentu lalu buru-buru menghubungi orang tersebut. Kalau hanya sekadar membocorkan informasi dengan motif imbalan uang, itu relatif tak menjadi masalah. Yang repot adalah, wartawan kemudian ikut-ikut menjadi penyidik partikelir dengan cara menekan orang tersebut pula. Atau mengancam hendak memberitakan bila tidak diberi uang.

Yang lebih kasar lagi adalah, tindakan orang-orang yang mengaku jurnalis dan datang menemui pejabat guna, tanpa tedeng aling-aling, meminta uang dengan beribu alasan. Celakanya lagi, jika tidak diberi, lalu memaksa dan marah-marah. Lebih jauh dari itu, ada pula yang mengancam dan bahkan melakukan kekerasan.

Tiga contoh tersebut saya rangkum dari beberapa kasus yang pernah saya dengar dan baca beberapa waktu yang lalu. Artinya, besaran fakta yang sebenarnya tidak pernah diketahui. Kemungkinan besar, pada kenyataannya, praktek-praktek tersebut jauh lebih banyak terjadi namun tidak diberitakan. Itu artinya, fenomena premanisme di kalangan wartawan itu jauh lebih serius dari yang kita duga.

Hal ini, seperti biasa, dapat dikomentari dari berbagai segi. Dewan pers, misalnya, akan bicara dari sisi sejauh mana hal itu melanggar Kode Etik Jurnalistik. Para pengamat politik, di pihak lain, mungkin mengomentarinya dari sudut pers sebagai pilar demokrasi yang membela kepentingan masyarakat sipil.

Kriminologi, lain lagi. Selain kriminologi telah mengawalinya melalui pengaitan konsep premanisme dan kewartawanan, kriminologi lebih jauh memandangnya sebagai kombinasi kejahatan korporasi dan profesional. Hal mana menjadikan penanggulangannya jauh lebih problematis.

Disadari bahwa tak ada wartawan tanpa lembaga yang namanya media massa. Keduanya saling terkait dan saling mempengaruhi. Alhasil, ketika ada wartawan suatu media massa yang melakukan praktek pemerasan, praktek pengrusakan nama baik ataupun praktek-praktek lain yang merugikan citra wartawan, kita bisa bertanya seberapa jauh kontribusi media dari si wartawan tersebut. Jangan-jangan, perilaku tersebut direstui mengingat media sebagai korporasi tidak mampu membayar baik wartawannya.

Selain itu, wartawan juga melakukan kejahatan profesional mengingat yang bersangkutan telah menerabas berbagai hal, mulai dari kode etik profesinya sendiri, aturan main asosiasi kewartawanan hingga hukum pidana.

Pelajaran yang bisa diambil adalah, bila premanisme wartawan hendak diberantas, implikasikan perusahaan tempat si wartawan bekerja. Perusahaan hendaknya bertanggungjawab atas perilaku karyawannya. Selanjutnya, aktifkan peradilan profesi bagi mereka. Sejauh ini, kita belum banyak mendengar hal itu dilakukanoleh asosiasi profesi kewartawanan.

Bagaimana dengan wartawan bodrek? Karena wartawan jenis ini sebenarnya tak punya institusi, maka bagaimana hendak mengatakan ada konteks kejahatan korporasi dalam hal ini. Sekaligus, karena wartawan ini tak terdaftar di asosiasi profesi seperti Persatuan Wartawan Indonesia, mereka jelas bukan professional di bidang kewartawanan. Singkatnya, bila wartawan jenis ini melakukan premanisme, hukum pidana adalah saluran hukum yang paling tepat.

Artikel ini sebelumnya sudah di posting di Web blog pribadi Prof. Adrianus Meliala, diposting kembali semata mata untuk tujuan pendidikan dan bahan koreksi bagi kuli tinta yang saat ini tengah berada dipersimpangan jalan.
Share this article :

Posting Komentar

Followers My Blog

 
Support : Creating Website | Fahruddin Fitriya SH | Kecoak Elektronik
Copyright © 2012. PENA FITRIYA - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Vitrah Nusantara
Proudly powered by Blogger