Sebuah ironi dalam hajatan tak bertuan
bernama Pilkadal (Pemilihan kepala daerah langsung yang sering diplesetkan
beberapa kawan sebagai pesta pemilihan kadal-kadal baru yang akan memimpin
kabupaten, kota, propinsi dan bahkan Negara.
Tidak jauh berbeda dengan sifat dasar
kadal, biasanya memiliki aktifitas tak terpuji yang berisi kegiatan
pembohongan, pembodohan, penipuan dan juga sarat korupsi, kolusi dan nepotisme
yang semuanya bermuara pada upaya meraup keuntungan pribadi, keluarga, kelompok
dan kolega.
Disini posisi masyarakat hanya
dipandang sebagai alat dan objek yang bisa dibeli dan diatur sesuka hati, sebab
rakyat hanya punya prinsip, “Ambil uang mereka dan pilih saja kadal yang paling
banyak sumbangannya”. Namun ini masih bersifat kecenderungan, jadi bagi yang
merasa silahkan marah.
Salah kaprah yang mulai memasyarakat,
membudaya serta mengkar ini ternyata secara tak sadar sudah tertanam kuat pada
sebagian besar rakyat yang lugu melalui lagu yang kini sudah menjadi kenikmatan
tersendiri bagi pelacur politik yang sudah kehilangan nilai dan hanya berbicara
materi.
”Siapa menabur angin, ia akan menuai
badai” kini sudah menjadi kenyataan. Badai apa yang kita tuai? Tak lain badai
akibat pendidikan politik salah, dimana masyarakat marginal kita sekarang larut,
betul-betul larut dalam ayunan politik yang tidak lepas dari politik materi dan
uang.
Kondisi ini makin sulit karena para
kandidat yang ikut pilkadal adalah para politikus yang bersifat ulikana (ular
lipan kadal naga). Sebuah ungkapan yang saya dapat dari seorang kawan diskusi meja
panjang milik Walhi Kalteng yang telah malang melintang didunia organisasi dan
politik praktis di tingkat kampung hingga tingkatan nasional.
Membedah calon pemimpin yang bersifat
ulikana akan membuat kita tersedak dan tak sedap makan. Perpaduan keempat sifat
binatang ini memungkinkan calon bupati entah walikota ataupun gubernur memiliki
peluang menang lebih besar, sebab telah mampu menyatukan berbagai kiat,
strategi dan upaya yang tentunya sangat jauh dari kaidah agama, norma ataupun
budaya.
Politikus ini (sifat ular) akan mampu
meliuk-liuk diantara isu negatif akibat buah kerja masa silam, lalu melilit
(mendekati) musuh dan masyarakat dengan gombal (janji-janji politik kosong) dan
disaat yang sama mematuk mangsa sampai tidak mampu berkata kecuali mengangguk
dan mengiyakan.
Seperti sifat Lipan, disaat semua musuh kasak kusuk, politikus ini berjalan pelan menuju tujuan, merayap dan disaat yang tepat mengigit dan menyalurkan bisa (ideologi)nya sehingga musuh mati lemas tak berdaya.
Karena Naga adalah raja dari kadal dan ular tentunya bisa dibayangkan apa yang akan bisa dilakukan oleh politikus ini, dalam bahasa sederhana apa saja akan dihalalkan untuk mencapai tujuan sehingga agama, nilai, norma dan budaya adalah haram sebab tujuan adalah yang wajib dan bisa menghalalkan segalanya.
Seperti sifat Lipan, disaat semua musuh kasak kusuk, politikus ini berjalan pelan menuju tujuan, merayap dan disaat yang tepat mengigit dan menyalurkan bisa (ideologi)nya sehingga musuh mati lemas tak berdaya.
Karena Naga adalah raja dari kadal dan ular tentunya bisa dibayangkan apa yang akan bisa dilakukan oleh politikus ini, dalam bahasa sederhana apa saja akan dihalalkan untuk mencapai tujuan sehingga agama, nilai, norma dan budaya adalah haram sebab tujuan adalah yang wajib dan bisa menghalalkan segalanya.
Inilah potret perpolitikan kita saat
ini, dimana sasaran, target dan tujuan pribadi, keluarga, kelompok dan kolega
adalah utama. Masyarakat (rakyat) hanya dijadikan alat, objek penderitaan dan
arena pilkadal betul-betul arena unjuk kebolehan untuk melakukan tipu daya. Tak
heran jika pemenang kompetisi ini adalah siapa yang paling bisa menipu,
berbohong, bersandiwara, tentunya dengan modal uang, harta dan tak jarang juga
wanita.
Selayang pandang yang terlihat selama
ini, kondisi semacam inilah yang sudah menjadi tontonan drama dalam dunia
perpolitikan kita saat ini. Bahkan lebih ironis, totonan politik ulikana ini dapat
dengan mudah kita jumpai di arena pemilihan baik itu ketua organisasi
mahasiswa, organisasi pemuda, partai politik apalagi pemilihan kepala daerah
dan kepala negara.
Sesuai dengan masing-masing kadar,
tentunya tontonannyapun berbeda, kalau tingkat mahasiswa masih kasar dan lugu,
biasanya dibumbu kericuhan, saling ancam dan saling hujat, kalau organisasia
kepemudaan lebih tinggi lagi sesuai pula dengan lokasi pemilihan yang biasanya
dilaksanakan di hotel berbintang dengan segenap gemerlap dan fasilitasnya.
Kalau ingin melihat sandiwara ulikana diforum partai, tonton saja berbagai
polah pemilihan ketua umum yang dipertontonkan secara terbuka dan tidak
malu-malu didepan kita rakyat Indonesia. Semuanya mendedahkan aib secara
terbuka dan lucunya kita-kita bersorak dan bangga.
Kembali ke drama ulikana tingkat daerah
dan nasional, meski jauh dari harapan penulis, keberadaan partai sebagai
instumen politik yang akan ikut menjadi bagian dalam proses demokrasi ini sejak
awal sudah terlihat hanya sebagai sampan atau ojek yang menawarkan jasa dan
akan mengantarkan penumpang yang membayar paling mahal tanpa melihat apakah ia
perampok, penipu ataupun sungguh-sungguh hadir untuk membangun dan
mengembalikan fungsi pemimpin dalam posisi yang sebenarnya.
Kenyataan yang tampak didepan mata,
pilkadal adalah lahan bisnis bagi partai-partai dalam upaya menambah mesiu
politik untuk persiapan pemilu ataupun menanam budi untuk ikut ambil bagian
dalam kepemimpinan jika yang didukung menang, sehingga bisa sama-sama ambil
bagian secara aktif dan kreatif dalam upaya menguras dan menyelewengkan uang
negara. Hal ini sejalan dengan budaya baru politik kita, yaitu berjamaah.
Berjamaah berbohong, berjamaah menipu dan berjamaah korupsi menyalahgunakan
uang rakyat. Dan akhirnya, berjamaah pula ngandang di sel KPK.
Sudah saatnya kawan-kawan kelompok
idealis melakukan proses penyadaran politik rakyat agar bisa melakukan fungsi
dan tugasnya secara benar, tidak terpengaruh oleh sumbangan, sogokan uang
ataupun keramahaman sesaat yang dilakonkan untuk menarik simpati dan setelah
terpilih ambil sikap tidak peduli.
Kondisi ini sering terjadi dan sebagian besar politisi kita sudah memahami psikologi masyarakat yang umumnya akan berebut memuja, menjilat dan mendekati pemimpin yang sedang berkuasa. Dengan harapan bisa memperoleh berkat berupa manfaat, fasilitas, jabatan, pelung ikut menggrogoti negara dengan cara membagi kue-kue secara adil dan dilakukan secara bersama-sama (berjamaah).
Kondisi ini sering terjadi dan sebagian besar politisi kita sudah memahami psikologi masyarakat yang umumnya akan berebut memuja, menjilat dan mendekati pemimpin yang sedang berkuasa. Dengan harapan bisa memperoleh berkat berupa manfaat, fasilitas, jabatan, pelung ikut menggrogoti negara dengan cara membagi kue-kue secara adil dan dilakukan secara bersama-sama (berjamaah).
Ironis lagi, ternyata ada juga politisi
yang sudah putus urat malunya. Salah seorang koruptor unsur legislatif di
Sumatra Barat pernah berkata, “Mengapa takut, toh saat dipenjara nanti kita
juga masih ketemu teman-teman, bisa saling bagi pengalaman, bisa saling diskusi
dan tertawa”. Kita tentunya yakin dipenjara fasilitasnya juga tidak jauh
berbeda seperti mereka bebas saat ini, sebab semuanya bisa diatur dengan
“hepeng”, kata saudara kita dari Medan.
Padahal seharusnya pilkadal ini bisa
menjadi harapan rakyat, momentum ini hendaknya dijadikan sarana oleh rakyat
untuk memilih pemimpin dalam arti sesungguhnya. Gula-gula politik dalam pilkada
berupa bantuan, uang dan kunjungan politik hendaknya jangan sampai mengaburkan
mata dan hati untuk memilih pemimpin yang terbaik dari pilihan terburuk yang
dihidangkan.
Lebih jauh, momentum pilkadal hendaknya
dijadikan titik balik bagi upaya memperbaiki daerah dan Negara untuk
mengembalikan kekuasaan rakyat pada posisinya. Jangan pilih pemimpin yang
menjadi malaikat, ramah, dermawan serta peduli hanya karena mau jadi Bupati,
Gubernur dan Presiden, tapi pilihlah pemimpin yang memang kesehariannya telah
mencerminkan itu. Jangan pilih pemimpin bodoh yang berlindung dengan pepesan
kosong pendidikan berijazah persamaan yang diperoleh menjelang suksesi.
Bagiku, pendidikan bukan jaminan
pemimpin sukses, tetapi bagaimana pemimpin bisa memimpin jika ia lebih bodoh
dari rakyatnya. Sedang orang pintar yang belajar dan dididik disekolah bisa
gagal memimpin apalagi orang yang tidak sekolah. Jangan pilih pemimpin yang
terlalu miskin ataupun terlalu kaya, sebab keduanya akan berdampak langsung
terhadap proses kepemimpinan. Pilihlah pemimpin yang kuat secara ekonomi
memiliki kredibitas baik dan tidak cacat secara hukum perjalanan hidupnya.
Kunci dari semua kriteria itu pilihlah
pemimpin yang beragama dan memahami kultur dan budaya daerah yang akan
dipimpinnya. Keberhasilan pembangunan tidak lepas sejauh mana calon pemimpin
memahami denyut nadi, harapan dan keinginan yang terselip dihati masyarakat
yang dipimpinnya secara kolektif.
Agar proses pilkadal berjalan baik,
sudah saatnya rakyat pro aktif ambil bagian dengan melakukan gerakan politik
rakyat sehat. Dimana para calon diminta melakukan kontrak politik langsung
kepada rakyat bukan hanya kepada partai yang sudah disewanya.
Kontrak politik secara jelas harus memaparkan program melalui target, sasaran dan tujuan yang akan dilakukan. Didalam kontrak secara jelas harus mencantumkan komitmen dan kesiapan diri untuk bersih, jujur dan berani bertanggungjawab dengan cara mengundurkan diri jika ternyata tidak sanggup ataupun melanggar kontrak politik.
Kontrak politik secara jelas harus memaparkan program melalui target, sasaran dan tujuan yang akan dilakukan. Didalam kontrak secara jelas harus mencantumkan komitmen dan kesiapan diri untuk bersih, jujur dan berani bertanggungjawab dengan cara mengundurkan diri jika ternyata tidak sanggup ataupun melanggar kontrak politik.
Tentu saja kontrak politik tersebut
menjadi suatu hal terpenting untuk dilakukan, sehingga setiap calon memahami
makna bahwa jabatan bukan merupakan tujuan tetapi alat untuk melakukan
pengabdian kepada orang banyak dan bukan pula dijadikan alat untuk mencari
kekayaan dengan melakukan penipuan dan pembodohan.
Terakhir, pemahaman hakikat hidup,
bekerja adalah ibadah sedangkan kekayaan, uang dan kehormatan adalah akibat
dari apa yang dilakukan sebuah kemutlakan. Kepada rakyat sendiri juga harus
dibersihkan dari nilai-nilai keliru yang ditularkan lewat lirik lagu, “ambil
saja uang mereka tapi jangan pilih mereka”. Kita harus kembali kepada ajaran
Ilahi haram hukumnya mengambil jika itu bukan milik kita dan apalagi kita tahu
uangnya berasal dari kegiatan tidak baik dan tujuan pemberian uang adalah untuk
mengelabui dan menipu agar memilihnya. Disaat kita melakukan upaya sama dengan ulikana
dalam aktifitas politik di Pilkadal maka secara tidak langsung seperti itulah
kita.
KASONGAN, 22/3 2013.
+ komentar + 1 komentar
Setuju...mantap artikelnya
Posting Komentar