Drama Ulikana Dalam Pilkadal Kita

Sabtu, 23 Maret 20131komentar

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم


Sebuah ironi dalam hajatan tak bertuan bernama Pilkadal (Pemilihan kepala daerah langsung yang sering diplesetkan beberapa kawan sebagai pesta pemilihan kadal-kadal baru yang akan memimpin kabupaten, kota, propinsi dan bahkan Negara.

Tidak jauh berbeda dengan sifat dasar kadal, biasanya memiliki aktifitas tak terpuji yang berisi kegiatan pembohongan, pembodohan, penipuan dan juga sarat korupsi, kolusi dan nepotisme yang semuanya bermuara pada upaya meraup keuntungan pribadi, keluarga, kelompok dan kolega.

Disini posisi masyarakat hanya dipandang sebagai alat dan objek yang bisa dibeli dan diatur sesuka hati, sebab rakyat hanya punya prinsip, “Ambil uang mereka dan pilih saja kadal yang paling banyak sumbangannya”. Namun ini masih bersifat kecenderungan, jadi bagi yang merasa silahkan marah.

Salah kaprah yang mulai memasyarakat, membudaya serta mengkar ini ternyata secara tak sadar sudah tertanam kuat pada sebagian besar rakyat yang lugu melalui lagu yang kini sudah menjadi kenikmatan tersendiri bagi pelacur politik yang sudah kehilangan nilai dan hanya berbicara materi.

”Siapa menabur angin, ia akan menuai badai” kini sudah menjadi kenyataan. Badai apa yang kita tuai? Tak lain badai akibat pendidikan politik salah, dimana masyarakat marginal kita sekarang larut, betul-betul larut dalam ayunan politik yang tidak lepas dari politik materi dan uang.

Kondisi ini makin sulit karena para kandidat yang ikut pilkadal adalah para politikus yang bersifat ulikana (ular lipan kadal naga). Sebuah ungkapan yang saya dapat dari seorang kawan diskusi meja panjang milik Walhi Kalteng yang telah malang melintang didunia organisasi dan politik praktis di tingkat kampung hingga tingkatan nasional.

Membedah calon pemimpin yang bersifat ulikana akan membuat kita tersedak dan tak sedap makan. Perpaduan keempat sifat binatang ini memungkinkan calon bupati entah walikota ataupun gubernur memiliki peluang menang lebih besar, sebab telah mampu menyatukan berbagai kiat, strategi dan upaya yang tentunya sangat jauh dari kaidah agama, norma ataupun budaya.

Politikus ini (sifat ular) akan mampu meliuk-liuk diantara isu negatif akibat buah kerja masa silam, lalu melilit (mendekati) musuh dan masyarakat dengan gombal (janji-janji politik kosong) dan disaat yang sama mematuk mangsa sampai tidak mampu berkata kecuali mengangguk dan mengiyakan. 

Seperti sifat Lipan, disaat semua musuh kasak kusuk, politikus ini berjalan pelan menuju tujuan, merayap dan disaat yang tepat mengigit dan menyalurkan bisa (ideologi)nya sehingga musuh mati lemas tak berdaya. 

Karena Naga adalah raja dari kadal dan ular tentunya bisa dibayangkan apa yang akan bisa dilakukan oleh politikus ini, dalam bahasa sederhana apa saja akan dihalalkan untuk mencapai tujuan sehingga agama, nilai, norma dan budaya adalah haram sebab tujuan adalah yang wajib dan bisa menghalalkan segalanya.

Inilah potret perpolitikan kita saat ini, dimana sasaran, target dan tujuan pribadi, keluarga, kelompok dan kolega adalah utama. Masyarakat (rakyat) hanya dijadikan alat, objek penderitaan dan arena pilkadal betul-betul arena unjuk kebolehan untuk melakukan tipu daya. Tak heran jika pemenang kompetisi ini adalah siapa yang paling bisa menipu, berbohong, bersandiwara, tentunya dengan modal uang, harta dan tak jarang juga wanita.

Selayang pandang yang terlihat selama ini, kondisi semacam inilah yang sudah menjadi tontonan drama dalam dunia perpolitikan kita saat ini. Bahkan lebih ironis, totonan politik ulikana ini dapat dengan mudah kita jumpai di arena pemilihan baik itu ketua organisasi mahasiswa, organisasi pemuda, partai politik apalagi pemilihan kepala daerah dan kepala negara.

Sesuai dengan masing-masing kadar, tentunya tontonannyapun berbeda, kalau tingkat mahasiswa masih kasar dan lugu, biasanya dibumbu kericuhan, saling ancam dan saling hujat, kalau organisasia kepemudaan lebih tinggi lagi sesuai pula dengan lokasi pemilihan yang biasanya dilaksanakan di hotel berbintang dengan segenap gemerlap dan fasilitasnya. Kalau ingin melihat sandiwara ulikana diforum partai, tonton saja berbagai polah pemilihan ketua umum yang dipertontonkan secara terbuka dan tidak malu-malu didepan kita rakyat Indonesia. Semuanya mendedahkan aib secara terbuka dan lucunya kita-kita bersorak dan bangga.

Kembali ke drama ulikana tingkat daerah dan nasional, meski jauh dari harapan penulis, keberadaan partai sebagai instumen politik yang akan ikut menjadi bagian dalam proses demokrasi ini sejak awal sudah terlihat hanya sebagai sampan atau ojek yang menawarkan jasa dan akan mengantarkan penumpang yang membayar paling mahal tanpa melihat apakah ia perampok, penipu ataupun sungguh-sungguh hadir untuk membangun dan mengembalikan fungsi pemimpin dalam posisi yang sebenarnya.

Kenyataan yang tampak didepan mata, pilkadal adalah lahan bisnis bagi partai-partai dalam upaya menambah mesiu politik untuk persiapan pemilu ataupun menanam budi untuk ikut ambil bagian dalam kepemimpinan jika yang didukung menang, sehingga bisa sama-sama ambil bagian secara aktif dan kreatif dalam upaya menguras dan menyelewengkan uang negara. Hal ini sejalan dengan budaya baru politik kita, yaitu berjamaah. Berjamaah berbohong, berjamaah menipu dan berjamaah korupsi menyalahgunakan uang rakyat. Dan akhirnya, berjamaah pula ngandang di sel KPK.

Sudah saatnya kawan-kawan kelompok idealis melakukan proses penyadaran politik rakyat agar bisa melakukan fungsi dan tugasnya secara benar, tidak terpengaruh oleh sumbangan, sogokan uang ataupun keramahaman sesaat yang dilakonkan untuk menarik simpati dan setelah terpilih ambil sikap tidak peduli. 

Kondisi ini sering terjadi dan sebagian besar politisi kita sudah memahami psikologi masyarakat yang umumnya akan berebut memuja, menjilat dan mendekati pemimpin yang sedang berkuasa. Dengan harapan bisa memperoleh berkat berupa manfaat, fasilitas, jabatan, pelung ikut menggrogoti negara dengan cara membagi kue-kue secara adil dan dilakukan secara bersama-sama (berjamaah).

Ironis lagi, ternyata ada juga politisi yang sudah putus urat malunya. Salah seorang koruptor unsur legislatif di Sumatra Barat pernah berkata, “Mengapa takut, toh saat dipenjara nanti kita juga masih ketemu teman-teman, bisa saling bagi pengalaman, bisa saling diskusi dan tertawa”. Kita tentunya yakin dipenjara fasilitasnya juga tidak jauh berbeda seperti mereka bebas saat ini, sebab semuanya bisa diatur dengan “hepeng”, kata saudara kita dari Medan.

Padahal seharusnya pilkadal ini bisa menjadi harapan rakyat, momentum ini hendaknya dijadikan sarana oleh rakyat untuk memilih pemimpin dalam arti sesungguhnya. Gula-gula politik dalam pilkada berupa bantuan, uang dan kunjungan politik hendaknya jangan sampai mengaburkan mata dan hati untuk memilih pemimpin yang terbaik dari pilihan terburuk yang dihidangkan.

Lebih jauh, momentum pilkadal hendaknya dijadikan titik balik bagi upaya memperbaiki daerah dan Negara untuk mengembalikan kekuasaan rakyat pada posisinya. Jangan pilih pemimpin yang menjadi malaikat, ramah, dermawan serta peduli hanya karena mau jadi Bupati, Gubernur dan Presiden, tapi pilihlah pemimpin yang memang kesehariannya telah mencerminkan itu. Jangan pilih pemimpin bodoh yang berlindung dengan pepesan kosong pendidikan berijazah persamaan yang diperoleh menjelang suksesi.

Bagiku, pendidikan bukan jaminan pemimpin sukses, tetapi bagaimana pemimpin bisa memimpin jika ia lebih bodoh dari rakyatnya. Sedang orang pintar yang belajar dan dididik disekolah bisa gagal memimpin apalagi orang yang tidak sekolah. Jangan pilih pemimpin yang terlalu miskin ataupun terlalu kaya, sebab keduanya akan berdampak langsung terhadap proses kepemimpinan. Pilihlah pemimpin yang kuat secara ekonomi memiliki kredibitas baik dan tidak cacat secara hukum perjalanan hidupnya.

Kunci dari semua kriteria itu pilihlah pemimpin yang beragama dan memahami kultur dan budaya daerah yang akan dipimpinnya. Keberhasilan pembangunan tidak lepas sejauh mana calon pemimpin memahami denyut nadi, harapan dan keinginan yang terselip dihati masyarakat yang dipimpinnya secara kolektif.

Agar proses pilkadal berjalan baik, sudah saatnya rakyat pro aktif ambil bagian dengan melakukan gerakan politik rakyat sehat. Dimana para calon diminta melakukan kontrak politik langsung kepada rakyat bukan hanya kepada partai yang sudah disewanya. 

Kontrak politik secara jelas harus memaparkan program melalui target, sasaran dan tujuan yang akan dilakukan. Didalam kontrak secara jelas harus mencantumkan komitmen dan kesiapan diri untuk bersih, jujur dan berani bertanggungjawab dengan cara mengundurkan diri jika ternyata tidak sanggup ataupun melanggar kontrak politik.

Tentu saja kontrak politik tersebut menjadi suatu hal terpenting untuk dilakukan, sehingga setiap calon memahami makna bahwa jabatan bukan merupakan tujuan tetapi alat untuk melakukan pengabdian kepada orang banyak dan bukan pula dijadikan alat untuk mencari kekayaan dengan melakukan penipuan dan pembodohan.

Terakhir, pemahaman hakikat hidup, bekerja adalah ibadah sedangkan kekayaan, uang dan kehormatan adalah akibat dari apa yang dilakukan sebuah kemutlakan. Kepada rakyat sendiri juga harus dibersihkan dari nilai-nilai keliru yang ditularkan lewat lirik lagu, “ambil saja uang mereka tapi jangan pilih mereka”. Kita harus kembali kepada ajaran Ilahi haram hukumnya mengambil jika itu bukan milik kita dan apalagi kita tahu uangnya berasal dari kegiatan tidak baik dan tujuan pemberian uang adalah untuk mengelabui dan menipu agar memilihnya. Disaat kita melakukan upaya sama dengan ulikana dalam aktifitas politik di Pilkadal maka secara tidak langsung seperti itulah kita.

KASONGAN, 22/3 2013.
Share this article :

+ komentar + 1 komentar

Anonim
25 Maret 2013 pukul 22.15

Setuju...mantap artikelnya

Posting Komentar

Followers My Blog

 
Support : Creating Website | Fahruddin Fitriya SH | Kecoak Elektronik
Copyright © 2012. PENA FITRIYA - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Vitrah Nusantara
Proudly powered by Blogger