Indonesia ini milik siapa 2 ?
JEMBATAN KALAHIEN; Jembatan di atas sungai Barito, dan satu-satunya jembatan yang menghubungkan antara Kabupaten Barito Selatan dengan Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. |
Melanjutkan jurnal sebelumnya "Orang Lokal Vs Pendatang", masih objektifkah? padahal Jika kita bicara tentang sejarah manusia, siapakah "Pendatang" dan siapakah "Penduduk lokal" adalah sangat bias. Apakah menggunakan pendekatan Kartu Tanda Penduduk (KTP)? Suku tertentu? Agama tertentu? Atau strata ekonomi tertentu? Menurutku, sebutan "Lokal" dan "Pendatang" tidaklah perlu untuk jaman dimana pencampuran antar manusia melintasi batas ruang dan waktu. Yang perlu dibatasi dan ditegakkan adalah obyektifitas peraturan yang berlaku untuk siapapun dan kapanpun tetap konsisten.
Ternyata sindrom pengelompokan antara "kami" dan "mereka", antara "penduduk lokal" dan "pendatang" juga terjadi diluar negeri. Hal ini jelas digambarkan oleh A. Rahman Basrun dalam tulisannya “Awas Sindrom Warga Singapura” di Berita Harian, koran berbahasa Melayu di Singapura, tanggal 9/4 2012, lalu. Tulisan ini ditujukan untuk menanggapi komentar Perdana Menteri Singapura pada tanggal 5/4 2012, mengenai “PM Lee flags two worrying trends in Singapore”.
Tulisan A. Rahman Basrun ini sangat menarik untuk dicermati karena menceriterakan bahwa dulu (mungkin sekitar tahun 60-an dan 70-an) orang Melayu Singapura berteriak, tidak suka dengan yang bukan Melayu, yaitu Cina dan India. Orang Melayu merasa kurang diperhatikan di bidang pendidikan dan bisnis. Kemudian, dengan usaha integrasi, demikian menurut Rahman, warga negara Singapura telah tersatukan, entah mereka Cina, Melayu, atau India, bahkan yang “lainnya” (termasuk yang Orang Barat). Dan kini, mereka (Cina, Melayu, dan India) bersama-sama berteriak terhadap arus pendatang, entah dari mana pun mereka, termasuk pendatang dari Rakyat Republik Cina (RRC) dan India.
Kenapa saya tertarik mencermati fenomena sosial semacam ini, tak lain tak bukan karena kasus serupa juga dapat dan telah terjadi di mana saja, bukan hanya di Singapura. Yang namanya penduduk lokal juga amat relatif. Orang yang telah lama berdiam di suatu daerah akan merasa sebagai penduduk lokal, karena telah hafal dengan sekelilingnya. Walau mereka juga “pendatang”, tetapi karena mereka sudah lama, adanya “pendatang” yang baru dan dalam jumlah yang banyak dan cepat dapat membuat pendatang lama yang telah menjadi “penduduk lokal” merasa gerah, dan tidak nyaman.
Yang namanya penduduk lokal dan pendatang dapat pula berasal dari kelompok dengan “darah” yang sama. Orang Cina warga negara Singapura belum tentu senang dengan kehadiran orang Cina dari RRC, yang jumlahnya meningkat dengan cepat. Bahasa mereka berbeda, budaya mereka berbeda. Orang India warga negara Singapura belum tentu nyaman dengan para pekerja kasar dari India atau expatriat dari India.
Lalu bagaimana dengan Indonesia?
Negara Indonesia adalah negara yang amat luas, dengan jumlah penduduk yang hampir 50 kali lipat jumlah penduduk Singapura, ditambah lagi dengan tingginya mobilitas penduduk dengan cepat, pada daerah yang kecil, seperti kecamatan, apalagi kelurahan, migrasi ke suatu daerah dapat menyebabkan terjadinya perubahan komposisi penduduk yang amat cepat pula.
Sangatlah tidak mengherankan jika terjadi sentimen antara “penduduk setempat” dan “pendatang”. Apalagi jika pendatang ini mempunyai tingkah laku (termasuk suku dan agama) yang berbeda, maka konflik dapat mudah disulut, apalagi kalau para pendatang itu dilihat sebagai saingan “penduduk setempat”, walau semuanya warga negara Indonesia.
Konflik horisontal akan semakin rentan dengan meningkatnya suhu politik yang terus memanas di Indonesia, apalagi menjelang pemilihan umum 2014, isu penduduk setempat lawan pendatang dapat dengan mudah dipolitisir oleh pihak yang tidak bertanggung jawab untuk menciptakan ketidakstabilan sosial dan politik, tentunya untuk kepentingan pribadi maupun kelompok tertentu.
Never you on behalf of local residents to suppress other people, we are one "Indonesia".
Posting Komentar