Pertunjukan debus oleh pemangku adat// |
Setelah
beberapa hari disibukkan dengan urusan duniawi, mau tak mau urusan dunia maya
jadi terbengkalai. Mungkin inilah bukti jika manusia manapun dan apapun jenis
bentuknya tetap saja tidak bisa hidup secara multitask, harus ada “pilihan”
yang selalu membawa konsekwensi.
Nah,
tepatkah kata bernas diatas? lalu bagaimana dengan “kodrat”? jika ada yang bilang hidup adalah pilihan, sepertinya
hidup ini terlalu sederhana, karena sudah barang tentu semua manusia akan
selalu memilih hidup seperti apa yang diinginkan, berbeda halnya jika hidup ini
hanya menjalani kodrat yang sudah digariskan.
Terlepas
anda setuju atau tidak, kehidupan ternyata adalah perpaduan dari keduanya, dan
keduanya inilah yang menyatu dalam sebuah kehidupan manusia. Jika ada
perntanyaan, Pilihan yang menciptakan kodrat atau sebaliknya, sepertinya ini
sama halnya dengan mempertanyakan, telor atau ayam yang duluan ada.
Hal
sama tapi serupa, juga dirasakan dan dijalani para pelestari budaya yang tersebar
diberbagai pelosok Bumi Pertiwi ini. Sadar atau tidak, mereka seolah menjadi
gerbang utama dan terakhir dalam hal pelestarian budaya. Yang seakan sudah
memliki kodrat untuk memilih melestarikan budaya, sejak masih dalam kandungan.
Terkadang
mereka sendiri tidak pernah menyadari dari mana datangnya kodrat dan kapan
dirinya memilih untuk menjalaninya. Entahlah, mengapa budaya itu sendiri, harus
tetap ada dan dipertahankan hingga saat ini. Jikalau harus mengorbankan banyak
tetesan darah serta dibumbui tangis air mata kesedihan, untuk melestarikannya.
Karena, dengan atau tanpa adanya budaya, kita tentu masih bisa terus bernapas
terlebih hidup.
Lebih
mengerikan lagi, hal semacam inilah kesukaan manusia yang tinggal dikota.
Melihat puluhan manusia, tanpa ijazah didadani seperti badut, terlihat polos
sekaligus bodoh. Yang rela menahan rasa sakit ketika benda tajam dan tumpul,
mendarat secara bersamaan dibagian tubuh mereka dalam hitungan detik. Menjadi
pemandangan unik nan berbeda, yang bisa
di perbincangkan ketika pulang nanti. Dengan kata lain, membawa buah tangan
sebagai bukti pernah berwisata ketempat tersebut.
Ketika
rintik hujan membasahi permukaan bumi dan kemudian di iringi dengan suara petir
yang menggelegar. Tapi tak tahu dari mana asalnya. Seperti itulah mungkin juga,
jerit rintahan tangis para pelestari budaya,
yang rela menyiksa tubuhnya satu persatu dengan penuh penghayatan. Meski mereka
tahu, semua itu tak berbalas.
Mungkin
inilah jawaban atas “hidup bukan pilihan” karena hidup memang tak selalu seperti
apa yang diinginkan, namun juga tak selalu di iringi dengan kata terpaksa.
Begitulah potret para pelestari budaya menjalani kodratnya. Bagaimana rasanya
menjadi tumpuan budaya, yang tak pernah di elu-elukan oleh siapa pun. Meski
secara perlahan tetapi pasti, sudah banyak yang meninggalkan tradisi lelulur
yang menyiksa tubuh. Dan satu persatu pula, bertahan melestarikan tradisi
lelulur tersebut.
Karena
arti dari Pengorbanan adalah bagian kehidupan. Harusnya begitu. Bukanlah
sesuatu untuk disesali. Tapi sesuatu untuk didambakan. Seleksi alam, yang akan
terus berlangsung, hingga mereka semua mati, dan budaya mengikuti kepergian
mereka setelahnya.
HUKUM ALAM; Yang Tua
pada saatnya nanti akan mati. Dan begitu pula dengan yang muda, lambat laun
pasti akan mati. Entah karena sakit, dibunuh, kecelakaan atau bahkan karena
terlalu serius memandang hidup. Seakan menjadi sajian penutup, dari warna dan
warni penghantar manusia menuju alam kematian.
KASONGAN, 16/12 2012.
Posting Komentar