Menyoal Kembali Korupsi di Negara Komisi

Kamis, 09 Mei 20130 komentar

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم


Berawal dari sebuah budaya yang namanya komisi, lalu melebar jadi korupsi, lalu lahirlah di hari ini Komisi Pemberantasan Korupsi. Jadi dari komisi ke komisi itulah siklus kebiasaan kita selama ini. Apa pun perbedaan dari dua kata komisi di atas, bisa jadi ia tetap kata yang sama dan masih menyimpan adat serta kebiasaan lama belaka.

Maka, jika yang berbeda cuma pengertiannya, bukan kenyataannya, siklus itu sebenarnya hanya berputar-putar saja. Seperti balapan di sirkuit, berangkatnya dari situ, pulangnya ke situ lagi. Korupsi memang diberantas di sana, tetapi selalu dimulai lagi dari sini.

Banyaknya petinggi yang menjadi tersangka kasus korupsi di hari-hari ini sebetulnya adalah kabar gembira dari sisi penegakan hukum. Tetapi untuk apa hukum ditegakkan kalau korupsi tetap tak berkesudahan. Target utamanya pasti bukanlah penegakan hukum, melainkan agar korupsi ini berhenti. Kalkulasinya jelas, sekuat apa penegakan itu akan bertahan jika jauh lebih banyak pihak yang harus dirobohkan.

Intinya ialah: apa jadinya jika mental roboh itu ternyata jauh lebih besar ketimbang mental tegak. Kalau itu yang terjadi, berarti penting sekali menemukan penyebab, kenapa budaya roboh itu seperti lebih besar katimbang budaya tegak. Jika budaya tegak itu ketemu, tak perlu lagi, ada jenis penegakan serepot dan semahal ini. Ia lalu akan seperti hukum rambu, cukup memasang gambar dan dipatuhi dan tak perlu ada petugas yang harus tegak mengawasi.

Jangan-jangan definisi korupsi di tingkat hukum formal itu, adalah soal yang terasa informal saja di sektor perilaku sehari-hari. Jelasnya begini, praktik korupsi yang kemudian dipersoalkan secara hukum itu, adalah praktik perilaku yang dirasa jamak saja dipraktikkan sebagai tradisi.

Tradisi tanda tangan pada kuitansi kosong, tradisi menghabiskan anggaran bukan cuma demi kebutuhan tapi sekadar demi mengejar ganti tahun anggaran, tradisi memberi bantuan atas nama pribadi tetapi dengan fasilitas perusahaan dan semacamnya, adalah soal-soal yang tak perlu masuk daftar dosa karena ia lama dianggap sebagai kewajaran.

Pertanyaannya, kenapa ia diwajarkan? Celakanya ada sederet pembenaran yang tua dan panjang usianya yang tak cukup diurai dalam kolom ini. Tapi ilustrasi pendek ini semoga memperjelas konteks: Sewaktu masih menjadi pimpinan BEM di kampusku dulu, aku pernah semeja diskusi menyoal korupsi dengan salah seorang pembicaranya adalah tim dari KPK. Orang ini menolak apa pun yang disediakan panitia termasuk makan dan minum karena ia telah diberi bekal uang saku, uang makan, dan akomodasi resmi. Maka, di luar itu, adalah soal-soal tak resmi dan harus ia tolak, termasuk konsumsi. Sikap semacam ini dianggap merepotkan.

‘’Menolak barang baik adalah tindakan kurang baik,’’ omel lain pembicara di sebelah saya dengan nada pelan. Inilah yang saya anggap masuk sektor informal kebudayaan itu. Pihak yang sedang ingin tegak itu adalah pihak yang formal dan merepotkan karena di luar kelaziman.

Ternyata, korupsi yang formal secara hukum itu menjadi informal dan jamak dikerjakan tanpa rasa bersalah dan penyesalan dalam keseharian. Lalu siapa yang disebut mereka itu? Saya khawatir mereka itu tidak ada karena hampir semuanya telah menjadi kita, terkecuali tim dari KPK dan sejenisnya itu. Jadi, sebetulnya yang harus kita perangi ini sejatinya bukan korupsi, melainkan induk semangnya bernama kekeliruan kebudayaan.

Harapannya, dengan tulisan yang teramat sangat sederhana ini mampu menjadi pemantik logika para pembaca, serta dapat memberikan sentilan bantin untuk lebih menkaji dan menyoal tentang budaya korupsi dan korupsi yang membudaya di republik salah urus ini.

KASONGAN, 9/5 2013
Share this article :

Posting Komentar

Followers My Blog

 
Support : Creating Website | Fahruddin Fitriya SH | Kecoak Elektronik
Copyright © 2012. PENA FITRIYA - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Vitrah Nusantara
Proudly powered by Blogger