Berawal dari sebuah budaya yang namanya komisi, lalu melebar jadi korupsi,
lalu lahirlah di hari ini Komisi Pemberantasan Korupsi. Jadi dari komisi ke
komisi itulah siklus kebiasaan kita selama ini. Apa pun perbedaan dari dua kata
komisi di atas, bisa jadi ia tetap kata yang sama dan masih menyimpan adat
serta kebiasaan lama belaka.
Maka,
jika yang berbeda cuma pengertiannya, bukan kenyataannya, siklus itu sebenarnya
hanya berputar-putar saja. Seperti balapan di sirkuit, berangkatnya dari situ,
pulangnya ke situ lagi. Korupsi memang diberantas di sana, tetapi selalu
dimulai lagi dari sini.
Banyaknya
petinggi yang menjadi tersangka kasus korupsi di hari-hari ini sebetulnya
adalah kabar gembira dari sisi penegakan hukum. Tetapi untuk apa hukum
ditegakkan kalau korupsi tetap tak berkesudahan. Target utamanya pasti bukanlah
penegakan hukum, melainkan agar korupsi ini berhenti. Kalkulasinya jelas,
sekuat apa penegakan itu akan bertahan jika jauh lebih banyak pihak yang harus
dirobohkan.
Intinya
ialah: apa jadinya jika mental roboh itu ternyata jauh lebih besar ketimbang
mental tegak. Kalau itu yang terjadi, berarti penting sekali menemukan
penyebab, kenapa budaya roboh itu seperti lebih besar katimbang budaya tegak.
Jika budaya tegak itu ketemu, tak perlu lagi, ada jenis penegakan serepot dan
semahal ini. Ia lalu akan seperti hukum rambu, cukup memasang gambar dan
dipatuhi dan tak perlu ada petugas yang harus tegak mengawasi.
Jangan-jangan
definisi korupsi di tingkat hukum formal itu, adalah soal yang terasa informal saja
di sektor perilaku sehari-hari. Jelasnya begini, praktik korupsi yang kemudian
dipersoalkan secara hukum itu, adalah praktik perilaku yang dirasa jamak saja
dipraktikkan sebagai tradisi.
Tradisi
tanda tangan pada kuitansi kosong, tradisi menghabiskan anggaran bukan cuma
demi kebutuhan tapi sekadar demi mengejar ganti tahun anggaran, tradisi memberi
bantuan atas nama pribadi tetapi dengan fasilitas perusahaan dan semacamnya,
adalah soal-soal yang tak perlu masuk daftar dosa karena ia lama dianggap sebagai
kewajaran.
Pertanyaannya, kenapa ia diwajarkan?
Celakanya ada sederet pembenaran yang tua dan panjang usianya yang tak cukup
diurai dalam kolom ini. Tapi ilustrasi pendek ini semoga memperjelas konteks: Sewaktu masih menjadi pimpinan BEM di kampusku dulu, aku pernah semeja diskusi
menyoal korupsi dengan salah seorang pembicaranya adalah tim dari KPK. Orang
ini menolak apa pun yang disediakan panitia termasuk makan dan minum karena ia
telah diberi bekal uang saku, uang makan, dan akomodasi resmi. Maka, di luar
itu, adalah soal-soal tak resmi dan harus ia tolak, termasuk konsumsi. Sikap
semacam ini dianggap merepotkan.
‘’Menolak
barang baik adalah tindakan kurang baik,’’ omel lain pembicara di sebelah saya
dengan nada pelan. Inilah yang saya anggap masuk sektor informal kebudayaan
itu. Pihak yang sedang ingin tegak itu adalah pihak yang formal dan merepotkan
karena di luar kelaziman.
Ternyata, korupsi yang formal secara hukum itu menjadi
informal dan jamak dikerjakan tanpa rasa bersalah dan penyesalan dalam
keseharian. Lalu siapa yang disebut mereka itu? Saya khawatir mereka itu tidak
ada karena hampir semuanya telah menjadi kita, terkecuali tim dari KPK dan
sejenisnya itu. Jadi, sebetulnya yang harus kita perangi ini sejatinya bukan
korupsi, melainkan induk semangnya bernama kekeliruan kebudayaan.
Harapannya, dengan tulisan yang teramat
sangat sederhana ini mampu menjadi pemantik logika para pembaca, serta dapat
memberikan sentilan bantin untuk lebih menkaji dan menyoal tentang budaya
korupsi dan korupsi yang membudaya di republik salah urus ini.
KASONGAN, 9/5 2013
Posting Komentar