Ilustrasi |
Makin
kesini, ternyata tradisi Lebaran kita semakin berwajah “perayaan” daripada “ibadah
social”. Salah satu indikasinya yakni dengan masifnya campur tangan kaum
pemodal untuk mendulang keuntungan
Dari
pengamatan salah satu praktisi ekonomi dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta,
Ahmad Ma'ruf, pada dialog “Konsumerisme Lebaran” di salah satu forum jagat maya
mengungkapkan, dalam momentum Lebaran, nilai belanja pada semua kelompok
masyarakat meningkat tajam. Bagi pelaku bisnis, itu tentunya menjadi momentum
mendulang keuntungan.
Momentum
inilah yang tak mau dilewatkan para pebisnis, mereka memanfaatkan momentum yang
secara sosial masyarakat menganggap wajar apabila mengeluarkan “extra cost”
dalam tradisi tersebut. Semua proses disadari meskipun sering juga terjadi
keterpaksaan karena ada pengkondisian oleh lingkungan sosial.
Dengan
adanya peningkatan mobilitas manusia, barang, dan jasa membuat kegiatan ekonomi
pada semua daerah meningkat tajam, Sehingga Lebaran tahun ini diperkirakan akan
terjadi peningkatan perputaran uang lebih dari Rp 83 triliun secara nasional.
Hal itu yang menjadikan kaum pemodal sebenarnya lebih berpesta daripada rakyat
pada umumnya.
Dari
“pengkondisian” inilah kaum pemodal mendapat rezeki berlimpah dari eforia
konsumsi yang semakin meningkat seiring “provokasi” iklan produk maupun promosi
pusat-pusat belanja di berbagai media massa maupun media promosi.
Dari
perhitungan Ahmad Ma’ruf, selama Ramadhan dan Lebaran, pengeluaran rumah tangga
kelompok miskin rata-rata meningkat 45 persen. Dari kondisi inilah penulis
berpandangan bahwa tradisi lebaran kita sudah mulai bergeser dari makna
sesungguhnya.
Terakhir,
izinkan penulis bersajak untuk lisan yang tidak terjaga untuk janji yang
terabaikan untuk hati yang berprasangka untuk sikap yang menyakitkan di hari
yang fitri ini, dengan tulus hati saya mengucapkan mohon maaf lahir &
bathin semoga allah senantiasa membimbing kita berbarengan di jalannya. Amin.
Semarang
9/8 2013.
Posting Komentar